BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahabbah
adalah cinta atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,
tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan perenungan, pelatihan
spiritual, interaksi terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap
tertinggi oleh seseorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan (Ridho),
kerinduan (Syauq) dan keintiman (Uns).
Sedangkan ma’rifat ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui
akal. Dalam kajian ilmu tasawuf ma’rifat adalah mengetahui tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Menurut sufi jalan untuk memperoleh
ma’rifat ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan sufi yang
mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai
,ma’rifat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian,tujuan dan kedudukan dari Mahabbah dan Makrifat ?
2. Apa
saja alat dan teknik untuk mencapai Mahabbah dan Makrifat ?
3. Siapa
tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Makrifat ?
4. Bagaimana
pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Mahabbah dan Marifat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui definisi,tujuan dan kedudukan dari Mahabbah dan Ma’rifah.
2. Untuk
mengetahui apa saja alat dan teknik untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah.
3. Untuk
mengetahui tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Ma’rifah.
4. Untuk
mengetahui pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Mahabbah dan Ma’rifah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahabbah dan Ma’rifah
1. Pengertian
Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba,
yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau
kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba
mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud
yakni penyayang.
Selain itu al-mahabbah dapat pula
berarti kecenderungan kepada sesuatau yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun sepiritual, seperti cintanya
seorang yang kasmaran pada sesuatu yang di cintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabtanya, seorang pekerja terhadap pekerjaanya. mahabbah pada
tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya
gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.[1]
Mahabbah adalah mencintai Allah Swt.
dengan sebenar-benar cinta hingga dalam hati seseorang tidak tersisa sedikitpun
yang terbuang selain untuk mengingatnya. Demikianlah mahabbah kepada Allah Swt.
dengan sebenar-benarnya cinta.[2]
Dilihat
dari tingkatannya , mahabbah ada tiga macam, yaitu
1. Mahabbah
orang biasa, mengmbil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, dan suka
menyebut nama-nama Allah.
2. Mahabbah
orang shidiq, adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesarannya,dan
lain-lain.
3. Mahabbah
orang yang arif, adalah cinta orang yang betul pada Tuhan.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak
menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan
dengan menyebutnya melalui zikir, di lanjutkan dengan leburnya diri pada
sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal dalam sifat Tuhan.
Dari uraian tersebut kita dapat
memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai
Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk
kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh
jiwa.[3]
2.
Pengertian
Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari
kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya penegtahuan atau pengalaman.
Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi dari pada ilmu yang bias di dapati oleh orang-orang pada
umumnya. Maharifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini di dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[4]
Dalam ajaran tasawuf terdapat sebuah
ajaran yang di sebut ma’rifah, ajaran ini berusaha mengajarkan manusia agar
mengenal dirinya secara lebih mendalam sehingga dia akan meneganl Allah atau
penciptanya yang Maha Agung. Sebaliknya jika seseorang tidak mengenal siapa
dirinya, maka sudah tentu dia tidak akan pernah mengenal siapa tuhannya.[5]
Selanjutnya ma’rifah di gunakan untuk
menunjukan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik,
ma’rifah di artikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan
rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.
Selanjutnya dari literature yang
diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan oleh Harun Nasution, ma’rifah
berarti mengetahui tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan :
1. Kalau
mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan
tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifah
adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya
hanyalah Allah.
3. Yang
dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Sekiranya
ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat kepadanya akan mati
karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan
menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Dari beberapa definisi tersbut dapat
diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan
menggunakan hati sanubari.[6]
Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa
ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya
menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seseorang sufi dengan Tuhan. Dengan
kata lain mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat
yang ada antara seseorang sufi dengan Tuhan.
Dengan demikian, kelihtannya yang lebih
dapat dipahami bahwa ma’rifah dating sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan
al-Kkalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada
pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.[7]
3.
Tujuan
Mahabbah dan Ma’rifah
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh
kebutuhan, baik yang bersifat material maupun spiritual untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan, untuk memperoleh kesenangan bathiniah yang sulit dilukiskan dengan kata
kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[8]
Sedangkan, tujuan yang ingin dicapain
dalam makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan
4.
Kedudukan
Mahabbah dan Makrifat
Ada yang berpendapat bahwa istilah
Mahabbah selalu berdampingan dengan ma’rifat, baik dalam kedudukanannya maupun
pengertiannya. Kalau ma’rifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan
mata hati (Al-Qolb), maka Mahabbah adalah perasaan kedekatan kepada tuhan
melalui cinta (roh).[9]
Sementara Al Ghazali dalam kitabnya ihya Ulumiddin memandang makrifat datang
sebelum mahabbah. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah
merupakan kembar dua yang selalu disebutkan berbarengan. Keduanya menggambarkan
kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan
makrifat menggambarkan dua aspek rapat yang ada seorang sufi dengan Tuhan.
B. Alat untuk mencapai Mahabbah dan
Ma’rifah
1.
Alat
untuk mencapai Mahabbah
Harun
Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan , bahwa alat
untuk memperoleh mahabbah oleh sufi di sebutt sir. Dengan mengutip pendapat
al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat
yang dapat di pergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Yang pertama, hati,
sebagai alat untuk sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai
tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat tuhan. Sir lebih halus dari pada
roh, dan roh lebih halus dari qalb atau hati.[10]
Mahabbah
adalah ajaran tasawuf rabi’ah al-Adawiyah yang menekankan perasaan cinta kepada
Allah sedalam-dalamnya. Allah adalah bukan suatu zat yang perlu di takuti, akan
tetapi dia harus di cintai dan didekati. Agar manusia dapat bertaqarrub dengan
Allah maka harus menjalankan peribadatan dan meninggalkan kesenangan yang
bersifat duniawi.
Roh yang di gunakan untuk mencintai Tuhan itu
telah di anugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan
ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya
telah di berikan Tuhan . Allah berfiman :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
الرُّوْحِ قُلِ الرُّوحُۗ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ
إِلَّا قَلِيْلًا ٨٥
Artinya
“ Mereka itu bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa
roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali.
(Qs Al-Isra’ 17: 85).
فَإِذَا
سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى فَقَعُوا۟ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
Artinya
“ Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menipukan
kedalamnya roh (ciptaan) ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.
(Qs Al-Hijr 15: 29).
Dua
ayat di atas selain menginformasikan bahwa manusia di anugerahi roh oleh Tuhan,
juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh
pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang di gunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.[11]
2.
Alat
ntuk mencapai Ma’rifah
Alat yang di gunakan untuk ma’rifah telah
ada dalam diri manusia, yaitu hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb
selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb
dengan akal adalah ialah bahwa akal tak bias memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bias mengetahui hakikat dari segala
yang ada, dan jika di limpahi cahaya Tuhan, biasa mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui
serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia
tuhan, yaitu setelah hati tersebut di sinari cahaya Tuhan.
Proses samapainya qalb pada cahaya tuhan
ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takkhalli
yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui
taubat. Hal ini di lanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak
yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajali adalah terbentuknya hijab,
sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
Dengan limpahan cahaya tuhan itulah
manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada tuhan. Dengan cara
demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa.
Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan
sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah di limpahi cahaya, ia dapat di
ibaratkan sperti orang yang memiliki antenna parabola yang mendapatkan langsung
pengetahuan dari tuhan. [12]
Ma’rifah yang di capai seseorang terkadang
diberi nama yang bermacam-macam, Imam al-Syarbasi menyebutnya ilmu al-Mauhubah (pemberian). Sedangkan Imam
Asy-Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah
(pancaran). Ibnu Sina menyebut al-Faid
(limpahan). Sementara di kalangan dunia pesantren di kenal dengan istilah Futuh (pembuka), dan di kalangan
masyarakat jawa di kenal dengan nama ilmu laduni,
dan di kalangan kebatinan di sebut wangsit.[13]
C. Tokoh yang mengembangkan
Mahabbah dan Ma’rifah
1. Tokoh yang mengembangkan
Mahabbah
Hamper
seluruh literature yang kita baca sepakat bahwa tokoh yang mula-mula
memperkenalkan ajaran mahabbah dalam tasawuf adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Nama
lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Sejak kecil beliau tinggal
di Basrah. Bermula dari sinilah nama beliau terkenal sebagai seorang wanita
setelah dan sebagai penceramah wanita. Dia sangat di hormati oleh orang-orang
saleh pada masanya.[14]
Riwayat
lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan
mengatakan “ Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan
pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas
dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup
dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti di minta dari-Nya, bukan dariku”.
Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan tuhan. Ketika sakit dia
berkata kepada tamunya yang menanyakan sakitnya “ Demi Allah aku tak merasa
sakit, lantaran surge telah di tampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya
dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku.
Dialah yang dapat membuatku bahagia.[15]
2.
Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah
Tokoh
paham ini adalah Zun Nun al-Mishri. Namanya dalah Abu al-Faiz Tsuban bin
Ibrahim al-Mishri, yang kemudian dikenal dengan nama Zun Nun. Beliau lahir
dikota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir. Pada tahun 214 H. Zun Nun di
tangkap dengan tuduhan melakukan bid’ah dan kemudian di antar ke kota Baghdad
untuk di penjarakan di sana.[16]
Adapun
Ma’rifah yang di majukan oleh Zun al-Nur al-Misri adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup
melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya di
berikan tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifah di masukkan tuhan dalam hati seorang
sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.[17]
Seterusnya
al-Gazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu
arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya Rabb, karena memanggil tuhan
dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang
yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.
Tetapi
bagi al-Gazali ma’rifah urutannya terlebih dahulu daripda mahabbah, karena
mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun, mahabbah yang di maksud al-Ghazali
berlainan dengan mahabbah yang di ucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu
mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta
yang timbul dari kasih dan rahmat tuahn kepada manusia yang member manusia
hidup, rezeki, keseangan, dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan
bahwa ma’rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai
oleh seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’riffah lebih tinggi
mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.[18]
D. Mahabbah dan Ma’rifah dalam
pandangan Al-Qura’an dan al-Hadis
1.
Mahabbah dalam Al-Quran dan al-Hadis
Paham
mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Quran.
Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan
Tuhan dapat saling bercinta. Mialnya ayat yang berbunyi :
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعوني
يحببكم الله
Artinya
“ Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu
”.(QS.Ali ‘Imron,3:30).
ياءتى الله بقوم تحبهم و يحبونه
Artinya
“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya
“.(QS,al-Maidah,5:54).
Di
dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:
ولا
يزال عبدى يتقرب الي با انوافل حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا
Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku
cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,mata,dan tangan-Ku.
Kedua
ayat dan satu hadist di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan
dapat saling mencintai. Karena alat untuk mencintai Tuhan,yaitu roh. Roh adalah
berasal dari roh Tuhan.Roh Tuhan dan roh yang ada pada diri manusia sebagai
anugrah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah.[19]
2.
Ma’rifah dalam pandangan al-Quran dan al-Hadis
Uraian
di atas telah menginformasiakn bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang
rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran
cahaya-Nya yang di masukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian
ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Quran, dijumpai
tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan
dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi,
يجعل الله له نورفماله من نو ومن لم
Artinya
“ Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun “.(QS.al-Nur,24:40)
افمن شرح الله صدره للاسلام فهو على
نور من ربه
Artinya
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama
islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya(sama dengan orang yang membantu
hatinya)? “(QS.al-Zumar,39:22).
Dua
ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki. Mereka yeng
mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan
hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang di dapat seorang sufi adalah cahaya.
Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangan di mungkinkan terjadi dalam islam, dan
tidak bertentangan dengan al-Quran.[20]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian dan pembahasan di atas, dapat di kemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian
mahabbah, Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta
yang mendalam. Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu,
irfan, ma’rifah yang artinya penegtahuan atau pengalaman. Dan dapat pula
berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
dari pada ilmu yang bias di dapati oleh orang-orang pada umumnya. Makrifah
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
2. Alat
untuk mencapai mahabbah, Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistisis
dalam islam mengatakan , bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi di
sebutt sir. Sedangkan alat untuk mencapai ma’rifah ada dalam diri manusia,
yaitu hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk
merasa adalah juga alat untuk berfikir.
3. Tokoh
yang mula-mula memperkenalkan ajaran mahabbah dalam tasawuf adalah Rabi’ah
al-Adawiyah. Sedangkan tokoh yang
memperkenalkan ajaran ma’rifah adalah Zun Nun al-Mishri.
4. Paham
mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Quran.
Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan
Tuhan dapat saling bercinta. Sedangkan ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya
Tuhan). Di dalam al-Quran, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang
dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
1. Abdurahman,
Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2016.
2. Nata,
Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada,2011.
3. Nata,
Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113.
4. Mahmud,
Abdul Halim, At-Tasawuf fi Al-Islam . Bandung:Pustaka Setia, 2002
5. Mahmud,
Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Bandung:Pustaka Setia,2002
[1] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2011.Hlm.207.
[2] Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2016.Hlm.268.
[3] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2011.Hlm.210.
[5] Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,2016.Hlm.281.
[6] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2011.Hlm.220.
[8] Abdul Halim Mahmud,At-tasawuf Fi
Al-Islam,Bandung:Pustaka Setia,2002.Hlm. 95
[9]
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di dunia Islam. Bandung:CV Pustaka Setia,2002, Hlm.
221
[10]Nata,
Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.183.
[11] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2011.Hlm.213.
[13] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2011.Hlm.225.
[15] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,20113Hlm.185.
[16]
Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada,2016.Hlm.280.
[18] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.195.
[19]
Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.217.
[20]Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.197.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق