الخميس، نوفمبر 15

Tujuan Dan Kedudukan Dari Mahabbah Dan Makrifat


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahabbah adalah cinta atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat, tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan perenungan, pelatihan spiritual, interaksi terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seseorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan (Ridho), kerinduan (Syauq) dan keintiman (Uns).
           Sedangkan ma’rifat ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf ma’rifat adalah mengetahui tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Menurut sufi jalan untuk memperoleh ma’rifat ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan sufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ,ma’rifat.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian,tujuan dan kedudukan dari Mahabbah dan Makrifat ?
2.      Apa saja alat dan teknik untuk mencapai Mahabbah dan Makrifat ?
3.      Siapa tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Makrifat ?
4.      Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Mahabbah dan Marifat ?
C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi,tujuan dan kedudukan dari Mahabbah dan Ma’rifah.
2.      Untuk mengetahui apa saja alat dan teknik untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah.
3.      Untuk mengetahui tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Ma’rifah.
4.      Untuk mengetahui pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Mahabbah dan Ma’rifah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Mahabbah dan Ma’rifah
1.      Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah  dapat pula berarti al-wadud yakni penyayang.
Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatau yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun sepiritual, seperti cintanya seorang yang kasmaran pada sesuatu yang di cintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabtanya, seorang pekerja terhadap pekerjaanya. mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.[1]
Mahabbah adalah mencintai Allah Swt. dengan sebenar-benar cinta hingga dalam hati seseorang tidak tersisa sedikitpun yang terbuang selain untuk mengingatnya. Demikianlah mahabbah kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya cinta.[2]
Dilihat dari tingkatannya , mahabbah ada tiga macam, yaitu
1.      Mahabbah orang biasa, mengmbil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, dan suka menyebut nama-nama Allah.
2.      Mahabbah orang shidiq, adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesarannya,dan lain-lain.
3.      Mahabbah orang yang arif, adalah cinta orang yang betul pada Tuhan.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan dengan menyebutnya melalui zikir, di lanjutkan dengan leburnya diri pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal dalam sifat Tuhan.
Dari uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[3]
2.      Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya penegtahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang bias di dapati oleh orang-orang pada umumnya. Maharifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini di dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[4]
Dalam ajaran tasawuf terdapat sebuah ajaran yang di sebut ma’rifah, ajaran ini berusaha mengajarkan manusia agar mengenal dirinya secara lebih mendalam sehingga dia akan meneganl Allah atau penciptanya yang Maha Agung. Sebaliknya jika seseorang tidak mengenal siapa dirinya, maka sudah tentu dia tidak akan pernah mengenal siapa tuhannya.[5]
Selanjutnya ma’rifah di gunakan untuk menunjukan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik, ma’rifah di artikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.
Selanjutnya dari literature yang diberikan tentang ma’rifah sebagai dikatakan oleh Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan :
1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.      Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat kepadanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Dari beberapa definisi tersbut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan menggunakan hati sanubari.[6]
Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seseorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara seseorang sufi dengan Tuhan.
Dengan demikian, kelihtannya yang lebih dapat dipahami bahwa ma’rifah dating sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al-Kkalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.[7]
3.      Tujuan Mahabbah dan Ma’rifah
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan bathiniah yang sulit dilukiskan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.[8]
Sedangkan, tujuan yang ingin dicapain dalam makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan
4.      Kedudukan Mahabbah dan Makrifat
Ada yang berpendapat bahwa istilah Mahabbah selalu berdampingan dengan ma’rifat, baik dalam kedudukanannya maupun pengertiannya. Kalau ma’rifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan mata hati (Al-Qolb), maka Mahabbah adalah perasaan kedekatan kepada tuhan melalui cinta (roh).[9] Sementara Al Ghazali dalam kitabnya ihya Ulumiddin memandang makrifat datang sebelum mahabbah. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebutkan berbarengan. Keduanya menggambarkan kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek rapat yang ada seorang sufi dengan Tuhan.
B. Alat untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah
1.      Alat untuk mencapai Mahabbah
Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan , bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi di sebutt sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat di pergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Yang pertama, hati, sebagai alat untuk sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb atau hati.[10]
Mahabbah adalah ajaran tasawuf rabi’ah al-Adawiyah yang menekankan perasaan cinta kepada Allah sedalam-dalamnya. Allah adalah bukan suatu zat yang perlu di takuti, akan tetapi dia harus di cintai dan didekati. Agar manusia dapat bertaqarrub dengan Allah maka harus menjalankan peribadatan dan meninggalkan kesenangan yang bersifat duniawi.
 Roh yang di gunakan untuk mencintai Tuhan itu telah di anugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah di berikan Tuhan . Allah berfiman :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوحُۗ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيْلًا ٨٥
Artinya “ Mereka itu bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (Qs Al-Isra’ 17: 85).
فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى فَقَعُوا۟ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
Artinya “ Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menipukan kedalamnya roh (ciptaan) ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud. (Qs Al-Hijr 15: 29).
Dua ayat di atas selain menginformasikan bahwa manusia di anugerahi roh oleh Tuhan, juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang di gunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.[11]

2.      Alat ntuk mencapai Ma’rifah
      Alat yang di gunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah ialah bahwa akal tak bias memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bias mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika di limpahi cahaya Tuhan, biasa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan, yaitu setelah hati tersebut di sinari cahaya Tuhan.
      Proses samapainya qalb pada cahaya tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takkhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini di lanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajali adalah terbentuknya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.
      Dengan limpahan cahaya tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah di limpahi cahaya, ia dapat di ibaratkan sperti orang yang memiliki antenna parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dari tuhan. [12]
      Ma’rifah yang di capai seseorang terkadang diberi nama yang bermacam-macam, Imam al-Syarbasi menyebutnya ilmu al-Mauhubah (pemberian). Sedangkan Imam Asy-Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah (pancaran). Ibnu Sina menyebut al-Faid (limpahan). Sementara di kalangan dunia pesantren di kenal dengan istilah Futuh (pembuka), dan di kalangan masyarakat jawa di kenal dengan nama ilmu laduni, dan di kalangan kebatinan di sebut wangsit.[13]
C. Tokoh yang mengembangkan Mahabbah dan Ma’rifah
1. Tokoh yang mengembangkan Mahabbah
      Hamper seluruh literature yang kita baca sepakat bahwa tokoh yang mula-mula memperkenalkan ajaran mahabbah dalam tasawuf adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah. Sejak kecil beliau tinggal di Basrah. Bermula dari sinilah nama beliau terkenal sebagai seorang wanita setelah dan sebagai penceramah wanita. Dia sangat di hormati oleh orang-orang saleh pada masanya.[14]
      Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan mengatakan “ Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti di minta dari-Nya, bukan dariku”. Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan tuhan. Ketika sakit dia berkata kepada tamunya yang menanyakan sakitnya “ Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surge telah di tampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia.[15]
2. Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah
      Tokoh paham ini adalah Zun Nun al-Mishri. Namanya dalah Abu al-Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang kemudian dikenal dengan nama Zun Nun. Beliau lahir dikota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir. Pada tahun 214 H. Zun Nun di tangkap dengan tuduhan melakukan bid’ah dan kemudian di antar ke kota Baghdad untuk di penjarakan di sana.[16]
      Adapun Ma’rifah yang di majukan oleh Zun al-Nur al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya di berikan tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifah di masukkan tuhan dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.[17]
      Seterusnya al-Gazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya Rabb, karena memanggil tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.
      Tetapi bagi al-Gazali ma’rifah urutannya terlebih dahulu daripda mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namun, mahabbah yang di maksud al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang di ucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat tuahn kepada manusia yang member manusia hidup, rezeki, keseangan, dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’riffah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.[18]
D. Mahabbah dan Ma’rifah dalam pandangan Al-Qura’an dan al-Hadis
1. Mahabbah dalam Al-Quran dan al-Hadis
      Paham mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Quran. Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Mialnya ayat yang berbunyi :
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله
      Artinya “ Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu ”.(QS.Ali ‘Imron,3:30).
ياءتى الله بقوم تحبهم و يحبونه
      Artinya “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya “.(QS,al-Maidah,5:54).
      Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:
ولا يزال عبدى يتقرب الي با انوافل حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,mata,dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadist di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai. Karena alat untuk mencintai Tuhan,yaitu roh. Roh adalah berasal dari roh Tuhan.Roh Tuhan dan roh yang ada pada diri manusia sebagai anugrah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah.[19]
2. Ma’rifah dalam pandangan al-Quran dan al-Hadis
      Uraian di atas telah menginformasiakn bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang di masukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Quran, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi,
يجعل الله له نورفماله من نو ومن لم                     
      Artinya “ Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun “.(QS.al-Nur,24:40)
افمن شرح الله صدره للاسلام فهو على نور من ربه
      Artinya “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya(sama dengan orang yang membantu hatinya)? “(QS.al-Zumar,39:22).
      Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki. Mereka yeng mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang di dapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangan di mungkinkan terjadi dalam islam, dan tidak bertentangan dengan al-Quran.[20]







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat di kemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengertian mahabbah, Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya penegtahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang bias di dapati oleh orang-orang pada umumnya. Makrifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
2.      Alat untuk mencapai mahabbah, Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan , bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi di sebutt sir. Sedangkan alat untuk mencapai ma’rifah ada dalam diri manusia, yaitu hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir.
3.      Tokoh yang mula-mula memperkenalkan ajaran mahabbah dalam tasawuf adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Sedangkan  tokoh yang memperkenalkan ajaran ma’rifah adalah Zun Nun al-Mishri.
4.      Paham mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Quran. Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Sedangkan ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Quran, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.

Daftar Pustaka
1.      Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.
2.      Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.
3.      Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113.
4.      Mahmud, Abdul Halim, At-Tasawuf fi Al-Islam . Bandung:Pustaka Setia, 2002
5.      Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Bandung:Pustaka Setia,2002




[1] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.207.
[2] Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.Hlm.268.
[3] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.210.
[4]Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.189.
[5] Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.Hlm.281.
[6] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.220.
[7] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.221.
[8]  Abdul Halim Mahmud,At-tasawuf Fi Al-Islam,Bandung:Pustaka Setia,2002.Hlm. 95
[9] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di dunia Islam. Bandung:CV Pustaka Setia,2002, Hlm. 221
[10]Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.183.
[11] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.213.
[12]Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.191
[13] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.225.
[14]Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.Hlm.267.
[15]  Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.185.
[16] Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.Hlm.280.
[17]  Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.227.
[18] Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.195.
[19]  Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.217.

[20]Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,20113Hlm.197.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق