الثلاثاء، نوفمبر 13

Teori Tentang Sumber Kejiwaan Dalam Dakwah


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
            Psikologi adalah ilmun yang mempelajari prilaku manusia dan proses mental. Psikologi merupakan cabang ilmu yang muda sebab psikologi merupakan bagian ilmu filsafat tentang jiwa manusia. Menurut plato psikologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat, hakikat, dan hidup jiwa manusia (psyche = jiwa dan logos = ilmu). Kepribadain adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian sering di dedeskripsikan dalam istilah sifat yang bisa di ukur yang di tunjukan oleh seseorang.
Kepribadian sering di artikan dengan cirri yang menonjol pada diri individu serperti orang yang pemalu dikenakan atribut “ berkepribadian pemalu dan kepada orang yang plimplan dan pengecut dan semacam nya di berikan atribut tidak punya kepribadian. Ruang Lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, perubahan kejiwaan, dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi. Pernyataan tentang apa hakikat manusia sebenarnya merupakan pertanyaan kuno. Sepanjang sejarah manusia, pernyataan tentang hakikat manusia selalu muncul, dan jawaban yang diberikan oleh teori-teori hanya dapat memuaskan sebagian manusia pada zamannya. Pada generasi berikutnyaakan muncul teori baru yang mengkritik teori terdahulu dan memberikan teori yang dianggapnya lebih benar. Begitulah seterusnya hingga sekarang, teori tentang manusia tetap menarik untuk dibicarakan baik dalam konteks operational. Manusia :mahkluk budaya (madaniyyun bi at thob,i).





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Tentang Sumber Kejiwaan Dalam Dakwah
            Tidak bisa di pungkiri bahwa kata kunci pada pembahasan psikologi adalah tentang jiwa. Psikologi mengandung kata psyche yang dalam bahasa yunani berarti “jiwa” , dan kata logos yang berarti “ilmu”, sehingga istilah “ilmu jiwa” merupakan terjemahan belaka dari istilah “psikologi”.  Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian, ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi, bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan.[1]
            Berdasarkan pengertian diatas, dapat di ketahui manusia ingin mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai kekuasaan tinggi sebagaimana fitrahnya. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling primitif hingga yang paling modern. Dalam pembahasan Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
a.    Menurut Teori Monistik
            Menurut teori monistik, yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berasal dari satu sumber kejiwaan. Sumber tunggal manakah yang paling dominan sebagai sumber jiwa kejiwaan itu? Terhadap sumber kejiwaan yang dominan itu, dikalangan ahli terjadi perbedaan pendapat:

·         Menurut Thomas van Aquiono
            Yang menjadi dasar kejiwaan agama ialah: Berfikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
·         Menurut Frederick Hegel
            Agama adalah suatu pengalaman yang sungguh-sungguh benar dan tepat kebenaran abadi. Berdasarkan konsep itu maka agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
b.   Menurut Teori Fakulti / Faculty Theori
            Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peran penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
a.       Fungsi Cipta, yaitu fungsi intelektual manusia. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan serta selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu, termasuk dalam aspek agama.
b.      Fungsi Rasa, yaitu suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang.melalui fungsi rasa dapat menimbulkan penghayatan dalam kehidupan beragama yang selanjutnya akan memberi makna pada kehidupan beragama.
c.       Karsa itu merupakan fungsi ekslusif dalam jiwa manusia. Karsa berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.[2]
            Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan dan dipahami dengan lebih sederhana yaitu :
a.       Cipta, berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelektual seseorang.
b.      Rasa, menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c.       Karsa, menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
Diantara ahli yang tergolong kepada teori Fakulti:
1. G.M. Straton
            G.M. Straton mengemukakan teori “konflik”. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik bdalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti: baik-buruk, moral-im moral, kepasifan-keaktifan, rasa rendah diri dan rasa harga diri menimbulkan pertentangan (konflik) dalam diri manusia. Jika konflik itu sudah demikian mencekam manusia dan mempengaruhi kehidupan kejiwaannya, makas manusia itu mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan). Seperti Sigmund Freud berpendapat, bahwa dalam setiap organis terdapat dua konflik kejiwaan seseorang yang mendasar, yaitu:
1.      Life-urge: ialah ke inginan mempertahankan ke langsungan hidup dari ke adaan yang terdahulu agar terus berlanjut.
2.      Death-urge: ialah keinginan untuk kembali ke dalam keadaan semula sebagai benda mati ( anorganis). 
            Selanjutnya, G.M. Straton berpendapat, konflik yang positif yang tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge) sebagai keadaan yang menyababkan timbulnya konflik tersebut. Dalam pernerapannya W.H. Clark berpendapat berdasarkan keinginaan dasar yang di kemukakan oleh Sigmund Freud, bahwa expresi dari pertentengan antara Death-urge dan Life-urge merupakan sumber kejiwaan agama dalam diri manusia. Dalam kenyataan kehidupan keagamaan kita dapat melihat adanya dorongan Life-urge secara positif hingga para pemeluk agama mengamalkan agamanya dengan penuh keikhlasan dalam hidupnya di dorong oleh ketakutannya Death-urge (hari kiamat).

2.      W.H Thomas
            Melalui teori The Four Wishes-nya mengemukakan, bahwa yang menjaddi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:
1)      Keinginan untu keselamatan (security)
2)      Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognations)
3)      Keinginan untuk di tanggapi (response)
4)      Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru ( new experiennce)
            Di dasarkan atas keempat keinginan dasar itulah pada umumnya manusia menganut agama menurut W.H. Thomas. Dengan mengabdi dan menyembah diri kepada Tuhan, keinginan untuk keselamatan terpenuhi. Demikian pula keinginan untuk mendapatkan penghargaan maka ajaran agama mengindoktrinasikan konsep akan adanya balasan baik setiap amal baik dan buruk. Agama memberi penghargaan kepada umatnya yang setia dan ikhlas melebihi kaum awam lainnya.[3]
B.     Sumber Kejiwaan Agama Menurut Islam
            Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30). Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha.
            Menurut Nurcholis Majid, agama merupakan fitrah munazal yang diturunkan Allah untuk menguatkan fitrah yang telah ada secara alami. Dengan fitrah ini manusia tergerak untuk melakukan kegiatan atau ritual yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, yang berbentuk upacara ritual, kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir dan lain – lain. Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
            Menurut Quraish Shihab , sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa kebenaran, keindahan d kebaikan. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Ketika manusia memperhatikan keindahan alam, maka akan timbul kekaguman. Kemudian menemukan kebaikan pada alam semesta yang diciptakan untuk manusia. Kemudian manusia mencari apa yang paling indah, paling benar dan paling baik yang pada akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah Tuhan.
A.    Teori Psikoanalisa
Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatiannya ditujukan kepada struktur manusia, yakni kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori psikoanalisa, perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu Id, Ego, dan Superego. Manusia dalam teori psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeingianan, yakni makhlk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam.[4]
Penjelasan tentang tiga subsistem kepribadian manusia menurut teori psikoanalisa ini adalah sebagai berikut:
1)      Id.
             Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut bahasa agama. Menurut Freund, ada dua instink yang dominan pada subsistem id ini, yaitu libido dan thanatos.

a. Libido.
            Libido merupakan instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif, seperti seks dan hal –hal lain yang mendatangkan kenikmatan , termasuk kasih ibu, pemujaan kepada tuhan dan cinta diri( narcisisme). Tingkah laku manusia memakai baju, menyisir rambut dan lain sebagainya, menurut teori ini adalah karena dorongan seks. Bahkan mengapa pemuda kuliah di perguruan tinggi adalah juga karena dorongan libido seks, yakni agar status sosialnya tinggi dan dengan begitu peluang mencari istri lebih mudah . libido juga disebut instink kehidupan(Eros).
     b. Thanatos
             Thanatos adalah instink destruktif dan agresif. Dorongan-dorongan untuk melawan dan merusak bersumber dari instink ini. Motif-motif manusia kehidupan dan instink kematian.Id seperti halnya hawa nafsu ingin segera memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat kesenangan. Id memang bergerak berdasarkan prinsip kesenagan (pleasure princple). Karena prinsip-prinsip kesenangan yang selalu ingin dipuaskan itulah maka Id sifatnya egois, tidak bermoral dan tidak peduli terhadap realitas. Id adalah tabiat hewani manusia.

2. Ego
            Ketika seorang pemuda terserempet mobil ugal-ugalan, maka id nya (baca: hawa nafsu) ingin memukul kepada sopir yang kurang ajar itu. Tetapi ketika diketahui sopir ugal-ugalan itu ternyata anak yang selama ini menolong membiayai studi anak muda itu maka ketika itu ego  bekerja menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak peduli terhadap orang yang sudah dikenal akan berakibat serius di belakang jembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar . Ego menjadi penengah antara dorongan-dorongan hewani manusia dengan pertimbangan-pertimbangan rasional sesuai dengan realitas yang dihadapinya.

3. Superego.
            Subsisitem yang ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal.  Superego menyerap norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia bukan hanya rasioanal tapi juga atas prinsip-prinsip nilai  dan sebagai pengawas kepribadian. Jika suatu ketika ego seseorang menuntut untuk menikahi seseorang gadis karena lamaran sudah diterima dan ia mampu untuk itu, tetapi di sisi lain orang itu bahwa gadis itu telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya dan bahwa ia hanya terpaksa menuruti kemauan  ayahnya yang mata duitan , maka superego akan menekan hasrat ego ke alam bawah sadar.  Meski dengan kekuasaan seseorang akan merasa mampu mengatur perkawinan, tetapi hati nuraninya tidak sanggup menzalimi dua orang yang sedang berkasih-kasihan. Jika ia memaksa diri menikahi gadis itu tetapi kemudian sang gadis bunuh diri, maka ia akan merasa dihukum superego dengan penyesalan dan perasaan bersalah. Menurut freund, ego terkadang kepada superego. Baik id  maupun superego berada di alam bawah sadar manusia, Ego-lah yang berada di tengah, yaitu antara memenuhi tuntutan moral (hati nurani atau superego).
Jadi, menurut teori psikoanalisa, tingkah laku manusia itu sebenarnya merupakan  interaksi antara tiga subsistem itu, yaitu komponen biologis(ego) dan komponen sosial (superego) , antara unsur hewani, akali dan nilai atau moral.
B. Teori Behaviorisme
            Jika psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa yang ada dibalik tingkah laku manusia( yang tidak tampak), maka teori psikologi behaviorisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak saja, yakni perilaku yang dapat diukur, diramal dan dilukiskan . jadi, nampak sekali bahwa behaviorisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisme.
            Manusia, oleh teori behaviorisme disebut homo mechanicus, artinya manusia mesin. Mesi adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif di belakangnya. Mesin berjalan karena tidak adanya dorongan alam bawah sadar  tertentu, ia berjalan semata-mata karena pasti tidak hidup, jika businya kotor juga mesinnya mati, jika unsur-unsur lingkungannya lengkap pasti berjalan lancar. Tingkah laku mesin dapat diukur ,  diramal dan diukiskan. Manusia, menurut teori behaviorisme juga demikian. Selain instink, seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar ialah perubahab prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Orang batak yang hidupnya di pinggir pantai laut bicaranya selalu keras, karena lingkungan menuntut untuk keras, yakni bersaing dengan suara ombak, sedangkan orang jawa yang hidupnya diperkampungan yang lengang, bicaranya seperti bisik-bisik pun sudah terdengar.
            Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasionil atau emosionil. Behaviorisme ingin mengetahui bangaimana perilaku manusia dikendalikan  oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviorisme adalah makhluk yang sangat plastis, yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalaman nya. Manusia menurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relavan. Seorang anak misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seorang penakut jika secara sistematis ia ditakutt-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan sebagainya dengan menciptakan lingkungan yang relavan.

            Dalam teori ini manusia dipandang sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu melakukan perlawanan. Aristoteles , yang di anggap sebagai cikal bakal teori behaviorisme memperkenalkan teori tabula rasa, yakni bahwa manusia itu ubahnya meja lilin yang siap dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang kepada kepada teori ini maka kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat universitasnya, dan untuk itu kurikulum serta alat-alat stimulasi bisa dirancang.
            Sudah barang tentu teori ini banyak juga yang mengkritik karena teori ini tidak dapat menjawab fenomena perilaku yang hanya bisa diuraikan dengan motif, misalnya bangaimna seseorang raja muda yang justru meninggalkan tahta hanya untuk  hidup bersufi-sufi, ( sidarta gautama , atau ibrahim bin adham), atau para pendaki gunung yang mempertaruhkan nyawanya, atau pejuang yang melakukan serangan kamikaze (bunuh diri) dengan meledakkan dirinya bersama bom yang di bawanya.
C. Teori Psikologi Kognitif
            Jika behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap pasif terhadap lingkungan, maka psikoligi kognitif menempatkan manusia sebagai makhluknyang bereaksi secara aktif terhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka manusia menurut teori kognitif ini disebut sebangai homo sapiens, yakni manusia yang berpikir.
            Pusat perhatian teori kognitif adalah pada bagaimna manusia memberi makna kepada stimuli. Orang yang selalu di takut-takuti, misalnya tidak mesti menjadi penakut seperti yang menakutkan itu harus dilawan. Ia pu mungkin berpikir bahwa ingin membalik keadaan justru ingin membuat takut kepada orang yang suka menakut-nakuti. [5]
            Jadi, menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut jika ada orang yang senyum kepadanya, tidak otomatiis patuh , bahwa orang yang menakut-nakuti itu memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasuh sayang atau senyuman gombal, apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak, dan sebagainya. Jadi, secara psikologis manusia adalah organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan.
            Jika seseorang mendengar suara”ana” , mungkin saja ia menafsirkannya dengan ada (bahasa jawa), atau aku (bahasa arab), atau anak (dialek semarang), atau nama kepala SD assyafiiyyah ( Buk Anna). Jika anda melihat tulisan II, boleh jadi menafsirkan nya dengan dua huruf i, atau dua rumawi, atau dua tiang yang berdiri sejajar. Dalam pandangan teori kognitif, manusialah yang menjadi pemberi makna terhadap stimuli, manusialah yang menjadi pemberi makna terhadap stimuli, bukan stimuli itu sendiri. Words don’t mean, people mean, “ kata-kata tak mempunyai arti apa-apa, manusialah yang memberi arti”, demikian kata ahli komunikasi.

D. Teori Psikologi Humanistik
            Jika teori psikologi dan behaviorisme kurang menghargai manusia, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keiginan bawah sadarnya, behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang takluk kepada lingkungan, maka psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai dan makna dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat perhatian teori humanisme, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi humanistik disebut sebagai homo ludens, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan.           
            Menurut teori psikologi humanistik ini, setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik) , dan kehidupannya berpusat pada dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadarnya( seperti teori psikoanalisaa), bukan pula tunduk kepada lingkungannya ( seperti teori behaviorisme) , tetapi berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau persepsi orang terhadap dirinya yang berubah-ubah dan fleksibel sesuai dengan pengalaman nya dengan orang lain. Seorang penjahat yang merasa hebat  karena nekad dalam perbuatan jahatnya misalnya, karena pengalamannya dengan orang lain. Dengan jagoan lain yang lebih hebat tetapi baik perilakunya , dapat saja ia menemukan makna kehidupan, dan kemudian memiliki konsep diri bahwa ia pasti dapat mengubah dirinya menjadi orang baik.
            Psikologi humanistik  memandang positif manusia.menurut teori ini, manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga cenderung ingin selalu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang dihdapinya(stimuli) sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya, dan dunia di mana ia hidup. Kecendrungan bathianiah manusia selalu menuju kepada kesehatan dan keutuhan diri. Jadi, dalam keadaan normal, manusia cenderung berperilaku rasional dan membangun ( konstruktif). Ia juga cenderung memilih jalan ( pekerjaan, karier, atas jalan hidup) yang mendukung pengembangan dan aktualisasi dirinya.
            Dalam kehidupan keseharian, terkadang kita jumpai seorang gadis dari keluarga kaya, tapi justru memilih menjadi guru SD di kampung terpencil, seorang mahasiswa yang cerdas tapi justru aktif dalam kegiatan sosial di daerah kumuh sampai studinya tertinggal oleh kwan-kawanya yang kurang cerdas, seorang pengusaha sukses yang kemudian lebih senang menjadi da’i dan sebagainya. Fenomena itu dipandang positif oleh teori humanistik, apa yang mungkin dipandang tak lebih sekadar mengikuti dorongan libido dan teori psikoanalisa, atau sekadar terbawa arus oleh teori behaviorisme.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sumber jiwa agama menurut ahli dibagi dua:
o   Teori monistik: bahwa sumber jiwa agama berasal dari sesuatu yang tunggal yang dapat berupa rasa ketergantungan, akal, libido sexuli dll.
o   Teori fakulty: bahwa sumber jiwa agama berasal dari beberapa unsur  terutama cipta, rasa, karsa.
2. Sumber jiwa agama menurut Islam berasal dari fitrah manusia yang berasal dari Allah
3. Fitrah diartikan sebagai suci, bertauhid, ikhlas, insting, atau tabiat.
            Manusia dalam teori psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeinginan, yakni makhluk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam dan kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Manusia menurut behaviorisme  disebut sebagai homo Mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin adalah suatu benda yang berkerja tanpa ada motif dibelakangnya. Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. Manusia menurut teori kognitif ini disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang berfikir. Pusat perhatian teori kognitif adalah bagaimana manusia memberi makna kepada stimuli. Jika teori psikologi dan behaviorisme kurang menghargai manusia, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keiginan bawah sadarnya, behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang takluk kepada lingkungan, maka psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin, Psikologi Agama,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004
Koswara, E.Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco, 1991
Mubarok Ahamad, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008
Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Bumi Aksara: Jakarta. 1990
 


[1] Jalaludin, PSIKOLOGI AGAMA, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012) hal:53
[2] Jalaludin, hal:59
[3] Koswara, E. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco. hlm. 45
[4] Mubarok Ahamad, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008. hlm. 99
[5] Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Bumi Aksara: Jakarta. 1990. hlm. 103

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق