BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Bani Abbas, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa “Al-Qur’an adalah mahluk”. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada salah satu ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, dia adalah imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran Salaf.
Aliran salaf merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh imam Ahmad Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salaf memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran ekstrim Mu’tazilah
Pada makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Disamping biografi dan riwayat hidup dari dua ulama di atas juga akan dibahas tentang pemikirannya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukan al-Qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Salafiyyah?
2. Bagaimana Asal-usul kemunculan aliran salafiyah?
3. Siapa sajakah tokoh-tokohnya dan bagaimana pemikirannya ?
4. Bagaimana perkembangannya?
C. Tujuan
1. Diharapkan mendapatkan pengetahuan tentang kriteria perbuatan yang baik dan buruk serta diikutkan pengetahuan tersebut dalam implementasi keseharian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aliran Salafiyyah
Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.
Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme). Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam”.
Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.
Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.
B. Asal-Usul Aliran Salafiyah
Kata salafiyah berasal dari kata salafa, yaslufu, dan salafan yang berpadanan dengan kata taqaddama dan mada yang berarti berlalu, sesudah lewat / terdahulu. As-salaf berarti al-mutaqaddimina fi as-asair, yakni orang yang terdahulu, berlalu dan sudah lewat tindakannya. (ensiklopedi islam,1997 : 203). Mahmud Sa’ad salaf artinya ulama terdahulu, selain itu juga digunakan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, para pemuka abad ke-3H dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya, yang selanjutnya sering di sebut salafus salih.
As-salafus salih ialah generasi awal yang terdiri dari kalangan mereka yang berilmu, mendapat hidayah melalui petunjuk nabi SAW, dan sebagai pemelihara sunnah nabi yang di ridhoi Allah. Sebagaimana al- quran menyebutkan :
Pada awalnya salafi atau salafiyah terbatas pada faham semata, yang muncul dari para pengikut madzhab Imam Hanbali pada tahun ke-7 H paham ini makin popular. Pada abad ke-12 H ditangan syaikh al-islam ibn Taimiyah secara normative salafi merupakan idealisasi palingharfiyah untuk menjalankan praktek hidup generasi terdahulu. Generasi terbaik pasca nabi.
Salaf as-salih juga dikenal dengan nama-nama :
1. Al-Jamaah
Mereka yang berpegang dengan manhaj salaf dinamakan al-jamaah karena mereka bersatu dalam persaudaraan islamdengan cara berittiba’ kepada al-quran dan as-sunnah.
2. Ahli Sunnah Wal-Jamaah atau Jama’atul Muslim
Nama ini terdiri dari dua kalimah yaitu :
a) ahli sunnah, sunnah yang dimaksud ialah sunnah Rasuluullah SAW. Dinamakan ahli sunnah karena berittiba’ kepada sunnah. Dimana sunnah sangat bertentangn dengan bid’ah, oleh karena itu ahli sunnah sangat menentang bid’ah.
b) Al-jamaah, menurut bahasa diambil dari kalimah “ jamaah” yaitu yang mengumpulkan yang bercerai-berai. Kalimat ini menunjukkan perkumpulan manusia yang berada pada tujuan yang satu. Menurut ilmu jamaah ialah beberapa kalimat yang berkisar diatas enam makna :
1) golongan yang besar / ramai dari kalangan ummat
2) jamaah ulama yang mujtahid, jamaah yang terdiri dari para sahabat secara khusus
3) jamaah umat islam yang bersatu atas satu matlamat
4) jamaah muslim yang bersatu dibawah satu amir
5) jamaah yang mengikuti kebenaran termasuk semua para ahli.
c) Ahli Al-Hadits, menurut ibnu Qaiyim setiap individu telah mengetahui bahwa ahli hadits adalah golongan yang palig benar sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mubarrak : aku dapati agama berada pada ali hadits, percekcokan pada golongan mu’tazilah, pembohong pada ar-rafidah (syiah) dan banyak berhelah (beralasan) pada ahli ra’yu.
d) Firqoh An-Najiah (Al-Mansurah), menurut Ibnu Taimiyah firqoh Naji’ah ialah
pengikut para sahabat di zaman Rasulullah SAW sebagai syi’ar ahli sunnah. Dinamakan fiqoh Najiah karena mereka terdiri dari ahli sunnah (ittiba’ as-sunnah)
e) Ahli Ittiba’, dinamakan ahli ittiba’ karena berittiba’ (mengikuti/mematuhi) Al-quran, as-sunnah Rasulullah SAW serta atsar para sahabat r.a dan menentang taqlid.
kaum salaf memiliki beberapa sifat, antara lain :
i. tidak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan qada dan qadar
ii. menghindarkan diri dari perdebatan yang tidak berujung, seperti masalah akidah, warak dan zahid serta kepada Rasulullah SAW
iii. benci terhadap bid’ah
Menurut Ibrahim Madzkur, tokoh-tokoh yang termasuk ulama salaf diantaranya : Abdullah bin abbas (68 H), Abdullah bin umar (74 H), umar bin abdul aziz (101 H), az-zuhri (124 H), ja’far ash-shiddiq (148 H), dan para imam madzhb empat. Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Iamam Ahmad Bin Hanbal. Ajarannya dikembangkan oleh Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad Bin Abdul Wahab. Kemudian banyak berkembang di dunia islam, tetapi teologinya sudah dipengaruhi pemikiran atau logika.
C. Tokoh-tokoh Salafiyah dan Ajaran-ajarannya
1. Imam Ahmad Bin Hanbal (164H/780M - 241H/855M).
Putra dari pasangan shahifah binti maimunah bin abdul malil dari bani Amir dengan Muhammad bin Hanbal bin Hillal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan. Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang zahid dan dermawan. Beliau juga teguh dalam pendiriannya, dan ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, inu Hanbal menjadi korban mihnah karena tidak mengakui bahwa al-quranitu makhluk. Akibatnya beberapa kali ia harus masuk penjara. Namun setelah Al-Mutawikkil naik tahta, ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, dan kehprmatan serta kemuliaan.
Pemikiran Ibnu Hanbal
(1) tentang ayat-ayat mutasyabbihat, dalam memahami al-quran Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabbihat. Selain itu Ibn Hanbal menyerahkan makna-makna ayat dan hadits mutasyabbihat kepada Allah dan rasul-Nya, dan menyucikan dari keserupaan dengan makhluk.
(2) tentang status al-quran, Ibn Hanbal tidak sejalan dengan paham mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan sdangkan menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh pemerintah. Pandangannya tentang status al-quran dapat dilihat dalam dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, gubernur irak.
Ishaq : apa pendapatmu tentang tentang al-qura ?
Ibnu Hanbal : sabda Tuhan
Ishaq : apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal : sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : apa artinya : Maha Mendengar (sami’), dan Maha Melihat (bashir) ?
Ibnu Hanbal : Tuhan menyifatkan DiriNya (dengan kata-kata itu)
Ishaq : apa artinya ?
Ibnu Hanbal : tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana yang Ia sifatkan pada diri-Nya.
Ibnu hanbal tidak membahas lebih lanjut mengenai status al-quran.
2. Ibnu Taimiyah (10 r.awal 661H – 20 Dz.qa’dah 729)
Nama lengkapnnya adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah, lahir di Harran. Ayahnya bernama Syihabuddin abu ahmad bin abdussalam. Ibnu Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim, karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal.
Pemikiran Ibnu Tamiyah
(1) sangat berpegang teguh pada nash (al-quran dan hadits)
(2) tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
(3) berpendapat bahwa al-quran mengandung semua ilmu agama
(4) di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja ( sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
(5) Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengnan tauhid dan tetap mentahjihkan-Nya.
Adapun pandangan Ibnu Taimiyah mengenai sifat-sifat Allah ialah :
(1) percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati.
(2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau Rasulya sebutkan.
(3) Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah dengan :
a. tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz
b. tidak menghilangkan pengertian lafadz
c. tidak mengingkarinya
d. tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati apalagi indera.
Berdasarkan alas an diatas IbnuTaimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabbihat. Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagamana adanya. Dengan catatan tidak mentajsim-kan, tidak mennyerupakan-Nya degan makhluk dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
3. Muhammad Ibn Abdul Wahab (W. 1792 M)
Lahir di perkampung Uyainah di bagian selatan kota najd (Saudi arabia). Ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran ibu Taimiyah. Pengikut akidahnya dikenal sebagai wahabi atau dikenal juga dengan salafi. Namun, penganut wahabi menolak menganut madzhab wahabi. Karena menurut para ulama Muhammad Ibn Abdul Wahab amat mahir dalam mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karena itu, ia mendapat julukan syaikhul Islam dan ajarannya tersebar, padahal banyak dikecam oleh ulama-ulama pakar karena kebatilan akidah dan pahamnya. Sehingga penganut wahabi menggelarkan diri sebagai golongan al-muwahhidin atau madzhab salafiyah (pengikut kaum salaf), karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid kedalam islam dan kehidupan Rasulullah SAW.
Muhammad Bin Abdul Wahab mengaku bahwa hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid dan mengenal islam dengan sempurna. Dia menafsirkan pemahaman ulama dari golongan manapun dengan konsep tauhid, termasu dari guru-gurunya sendiri dari madzhab hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsepnya telah melakukan penyebaran ajaran bathil, yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.
D. Perkembangan Salafiyah
Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bawa salafiyah tumbuh dan berkembang menjadi aliran (madzhab) atau paham golongan, sebagaimana golongan khawarij, mu’tazilah, maturidiyah dan kelompok-kelompok lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahlussunnah waal jama’ah diluar kelompok syi’ah.
Gerakan salafiyah adalah gerakan yang berusaha menghidupkan kembali ajaran kaum salaf. Setelah selesai masa salaf muncul masa khalaf, yang berarti masa pengganti / kemudian. Ulama pada masa ini disebut ulama khalaf yang berakhir pada abad ke-4 H. setelah itu mncul suatu masa yang disebut masa taklid (meniru / mengikuti). Pada masa inilah terjadi kemunduran dan degradasi umat islam, Karen umat islam sangat mundur dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, social, ekonomi maupun moral. Dan pada masa itu masih banyak yang melakukan peruatan syirik dan bid’ah.
Dalam situas seperti itulah muncul ulama yang ingin membangun kembali alam pikiran kaum muslimin dengan menyadarkan mereka agar kembali pada al-quran dan al-hadits sebagaimana yang ditempuh kaum salaf. Ibnu Taimiyah sebagai tokoh penggeraknya, mendesak kaum muslimin agar kembali pada ajaran yang utama yaitu, al-quran dan al-hadits. Ia menginginkan agar ajaran islam tidak dipertahankan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana dikehendaki oleh pembawanya. Nabi Muhammad SAW.
Untuk saat ini banyak berkembang kelompok islam yang mengatas namakan golongannya sebagai penganut salafiyah. Menurut Jamhari, para ahli berpendapat bahwa munculnya kelompok-kelompok islam garis keras di dunia sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideology salaf. Ideology salaf yang awalnya menekankan pada pemurnian aqidah, mengalami metamorfosis pada abad ke- 20. salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata, tapi menjadi ideology perlawanan terhadap berbagai paham ang tidak sesuai dengan nilal-nilai agama, yaitu dengan terjadinya klonialisme, modernisme, sekularisme dan akhirnya dominasi dan hegemoni barat.
Sebagian umat islam yang gagal mengantisipasi perubahan yang begitu cepat dari modernisasi, akan terpinggirkan baik secara ekonomi, social, maupun politik. Akhirnya, mereka berpaling pada agama dan menjadikannya sebagai dasar pengesahan atas segala tindakannya yang berusaha melawan system dan peradaan yang ada. Dengan demikian, gerakan salafi radikal pada dasarnya adalah protes terhadap lingkungnan sekitarnya yang tidak berpihak padanya dan respon terhadap buruknya pelayanan Negara terhadap masyarakat.
Adapun contoh-contoh gerakan salafi radikal diantaranya : Fron Pembela Islam (FPI) adalah gerakan slafi radikal yang menitik beratkan pada formalisasi syariat islam dengan orientasi politik yang bersifat local. Sedangkan Laskar Jihad memiliki muatan ideology salaf yang sangat kental, pada pemurnian islam. Sementara itu, Hizbuttahrir memiliki orintasi politik yang bersifat trans-nasional. Menyerukan bahwa, dunia islam berada dalam satu khilafah islam. Dan Majelis Mujahidin Indonesia yang dipimpin oleh Usadz Abu Bakar Ba’asyir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu ‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para Tabi’in dan selanjutnya Tabi’i Tabi’in.
Imam Hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan Lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
Imam Hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan Lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, abdul dan Rosihon anwar. 2003. ilmu kalam. Bandung : Pustaka Setia
Penyusun. 1997. Ensiklopdi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve
Jamhari, jajang jahroni. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta : pT. Raja
Grafindo Persada
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani,
1994
Abbad, Sirajudin, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987
Dasuki, Hafisz, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
Abbad, Sirajudin, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987
Dasuki, Hafisz, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1993
Ghazali, Adeng Muhtar, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern,
Ghazali, Adeng Muhtar, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern,
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق