KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Buku Khutbah ini, serta tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Buku khutbah ini sengaja saya susun demi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penunjang dalam Pembuatan khutbah berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Bandar Lampung, 24 Ramadhan 1438 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
ISI KHUTBAH
- Menjaga Ikatan Ukhuwah Islamiyah
- Perjalanan Hidup Manusia
- Perniagaan Yang Tak Akan Rugi
- Mencari Keberkahan Hidup
- Bekal Apa Yang Sudah Kita Siapkan
Untuk Menyambut Bulan Suci Ramadhan
- Enam Pesan Imam Alghozali
- Makna Idul Fitri
- Rendah Hati Menyambut Idul Fitri
- Mengingat Kematian
KHUTBAH KEDUA
MENJAGA IKATAN UKHUWAH ISLAMIYAH
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ، وَفَضَّلَهُ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ بِالْإِنْعَامِ وَالتَّكْرِيْمِ، فَإِنِ اسْتَقَامَ عَلى طَاعَةِ اللهِ اسْتَمَرَّ لَهُ هذَا التَّفْضِيْلُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيْمِ، وَإِلَّا رُدَّ فِي الْهَوَانِ وَالْعَذَابِ الْأَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَهُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ شَهِدَ لَهُ رَبُّهُ بِقَوْلِهِ: {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمِ} صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ سَارُوْا عَلَى النَّهْجِ القَوِيْمِ وَالصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Ayyuhal muslimun! Bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنَكُمْ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman.” (Q.S. Al-Anfal:1)
Ibadallah! Salah satu prinsip besar yang dibangun oleh agama kita ialah prinsip ukhuwwah (persaudaraan) di antara sesama orang beriman.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Q.S. Al-Hujurat :10)
Jika hubungan persaudaraan yang ada di antara manusia sangat beraneka ragam menurut macam-macam tujuan dan maksudnya, maka hubungan persaudaraan yang paling kokoh talinya, paling mantap jalinannya, paling kuat ikatannya, dan paling setia kasih sayangnya ialah persaudaraan berdasarkan agama. Karena, persaudaraan semacam ini tidak putus talinya, tidak akan berubah karena perubahan zaman, dan tidak akan berbeda karena perbedaan orang dan tempat. Persaudaraan yang berlandaskan akidah dan iman, serta berdasarkan agama yang murni karena Rabb Yang Mahaesa senantiasa mampu mempersatukan umat Islam dari berbagai penjuru. Inilah rahasia kekuatan dan kekokohannya. Inilah kunci keakraban para personelnya yang ada di belahan bumi bagian timur maupun barat. Dan inilah yang membuat mereka menjadi satu kesatuan yang pilar-pilarnya sangat kuat dan bangunannya sangat kokoh. Sehingga, badai topan pun tidak sanggup menggoyahkannya. Ia laksana bangunan yang dibangun dengan timah dan ibarat tubuh yang satu.
Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullahu shallallahu ‘slaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin (lainnya) bagaikan bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.” (Shahih Al-Bukhari, 481, dan Shahih Muslim, 2585 ). “Dan beliau pun menyilangkan jari-jemarinya,” kata Abu Musa.
Sementara An-Nu’man bin Basyir radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang-orang beriman di dalam cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti tubuh. Jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka anggota tubuh lainnya akan memberikan kesetiaan kepadanya dengan berdagang (susah tidur) dan demam.” (H.R. Al-Bukhari, 6011 dan Muslim, 2587 )
Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya, ukhuwwah Islamiyah adalah ruh dari iman yang kuat dan inti dari perasaan yang meluap-luap yang dirasakan oleh seorang muslim terhadap saudara-saudaranya yang seakidah. Bahkan, ia merasa bahwa ia bisa hidup karena mereka, bersama mereka dan di tengah-tengah mereka. Seolah-olah mereka semua adalah ranting-ranting yang tumbuh dari satu batang pohon dan muncul dari pokok yang sama. Dengan perasaan itu, maka hilanglah perbedaan kesukuan dan warna kulit, lenyaplah perbedaan ras, dan matilah fanatisme kebangsaan dan kesukuan. Sehingga, yang ada hanyalah pondasi besar yang menjadi landasan berdirinya masyarakat Islam internasional yang dihimpun oleh satu tali dan dinaungi satu bendera, yakni bendera iman dan tali ukhuwwah Islamiyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَا كُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لتعارفوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Saudara-saudara seiman dan seagama! Di dalam masyarakat Islam yang berlandaskan akidah iman dan bertemu pada titik syi’ar Islam, persaudaraan akidah menggantikan persaudaraan nasab (darah), dan ikatan iman menggantikan ikatan-ikatan materi, kepentingan individu, maupun ambisi pribadi. Di situ seorang mencintai saudara-saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Ia merasa sedih bila mereka sedih dan ia merasa senang bila mereka senang. Ia selalu berbagi suka dan duka bersama mereka. Oleh karena itu, Islam memberantas gejala-gejala egoisme dan mental suka mementingkan diri sendiri yang kejam. Karena, ia merupakan kecenderungan yang tercela dan bencana yang buruk yang diberantas oleh Islam, serta diganti dengan rasa persaudaraan dan persahabatan.
Siapa pun yang meneliti sejarah umat ini akan menemukan, bahwa umat Islam belum pernah bersatu kata, merapatkan barisan, mengangkat panji-panji kejayaan, menegakkan negara, atau disegani musuh, melainkan karena rasa persaudaraan yang sangat kuat di antara mereka dan tidak ada bandingannya di dalam sejarah umat manusia. Yaitu sebuah persaudaraan yang sangat kuat dan kokoh yang menjadi pondasi bangunan umat yang perkasa, tangguh, kuat, dan gagah. Sehingga, setelah bertarung melawan musuh-musuhnya, posisinya sangat disegani, tiang-tiangnya menjulang tinggi dan pilar-pilarnya sangat kokoh.
Wahai umat Islam sekalian! Di dalam sejarah kita mendapat banyak contoh nyata dan peristiwa yang tiada tara yang menggambarkan betapa kuatnya ikatan persaudaraan di antara sesama umat Islam. Yang paling masyhur ialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Sehingga, setiap orang Anshar memiliki saudara dari kalangan Muhajirin. Bahkan, ada orang Anshar yang mengajak saudaranya dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, kemudian ia menawarkan kepadanya untuk berbagi harta bendanya yang ada di rumahnya. Dan ia pun siap berbagi suka dengannya. Persaudaraan manakah di dunia ini yang bisa menandingi ukhuwwah Islamiyah tersebut?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَاْلإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q.S. Al-Hasyr: 9)
Kemudian, apa yang terjadi setelah banyak umat Islam dikuasai hatinya oleh materi, peradaban yang palsu merajalela di mana-mana, dan dunia melompat dari tangan ke dalam hati, lalu bertemu dengan iman yang lemah dan pendidikan yang salah, dan melaju bersama kesenangan dan materi, lalu tunduk di hadapan tantangan yang menghadang? Yang terjadi setelah itu adalah ketegangan hubungan sosial di antara sesame, karena sebab yang sangat sepele. Bahkan, ketegangan itu pun terjadi di antara orang-orang yang memiliki hubungan dekat, baik hubungan nasab (keturunan), perkawinan, persahabatan, maupun tetangga. Sehingga pertikaian merajalela, pertengkaran terjadi di mana-mana, perpecahan meluas, dan pemutusan hubungan menjadi-jadi. Kondisi itu menyebabkan hilangnya kasih sayang dan kejernihan, menimbulkan perpecahan dan gugat-menggugat, lalu memicu timbulnya sikap egois dan mementingkan diri sendiri.
Gejalanya bermacam-macam dan banyak ditemukan di tengah masyarakat. Hal itu dipicu oleh lemahnya ukhuwwah Islamiyah di antara umat Islam, bahkan di antara sesama anggota keluarga. Misalnya, ada orang yang terlibat pertengkaran kecil dengan saudara kandungnya karena memperebutkan secuil harta. Lalu, masalahnya menjadi pelik dan semakin besar. Para juru runding gagal mendamaikan mereka. Masing-masing ngotot ingin menempuh jalur hukum dan mondar-mandir ke pengadilan hanya untuk melampiaskan dendam kepada saudaranya sendiri, gara-gara segenggam harta atau sejengkal tanah. Bahkan, ada orang yang tidak bertegur sapa dengan saudara kandungnya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Subhanallah!
Mengapa semua ini bisa terjadi? Seorang adik menggugat kakak kandungnya ke pengadilan!
Ada pula orang yang tidak pernah berkunjung ke rumah pamannya atau saudara sepupunya. Bahkan, juga tidak pernah menghubunginya melalui telepon untuk sekadar basa-basi. Dan itu bisa bertahan selama bertahun-tahun.
Ada kawan dekat dan teman akrab yang bersahabat selama bertahun-tahun dalam suasana yang harmonis. Lalu, tiba-tiba terjadi sedikit kesalahpahaman dan mendadak tali persahabatannya putus begitu saja, bahkan berubah menjadi permusuhan, dendam, dan buruk sangka.
Ada tetangga dekat yang dinding rumahnya berhimpitan dengan dinding rumah Anda. Anda menyukainya dan dia pun menyukai Anda. Anda suka berkunjung ke rumahnya dan dia pun suka berkunjung ke rumah Anda. Tiba-tiba anak-anak seperti biasa bertengkar, lalu para ibu ikut campur, teriakan membahana, dan para ayah yang berakal sehat pun terlibat. Akibatnya, terjadi perang dahsyat di antara mereka. Kata-kata kotor meluncur, tangan diacung-acungkan, dan pihak berwenang pun ikut campur. Hasilnya, terputusnya hubungan secara permanen, permusuhan abadi dan caci maki di depan umum. Bahkan, tidak jarang mendorong seseorang untuk pindah rumah dan balas dendam. Allahul musta’an! Inikah umat yang bersatu? Inikah ajaran ukhuwwah Islamiyyah yang benar? Cukuplah, wahai hamba-hamba Allah! Hentikanlah permusuhan dan pertengkaran! Awas, jangan sampai setan berhasil mengadu domba Anda! Berdamailah, wahai orang-orang yang berseteru! Sambunglah hubungan, wahai orang-orang yang memutuskan hubungan! Karena dampak buruk dari perseteruan dan pemutusan hubungan itu sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Tidakkah Anda mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga malam (hari). Mereka berdua berjumpa, lalu yang ini berpaling dan yang ini pun berpaling. Dan yang terbaik di antara mereka berdua adalah orang yang memulai mengucapkan salam.”(Shahih Al-Bukhari, 6077 dan Shahih Muslim, 2560)
Atau sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tolonglah saudaramu dalam posisi sebagai orang zalim maupun korban kezaliman.” (Shahih Al-Bukhari, 2443)
Atau sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Amal manusia ditunjukkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis. Lalu orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu akan diampuni dosanya, kecuali orang yang memendam rasa permusuhan dengan saudaranya. Dia (Allah) berfirman, ‘Tinggalkan kedua orang ini sampai mereka berdamai.’” (H.R. Muslim dan lain-lain)
Di sisi lain, sejauh mana dukungan umat Islam dalam mewujudkan ukhuwwah Islamiyah? Dalam arti, siapakah di antara kita yang mau melihat kondisi saudara-saudaranya dan keadaan tetangganya, terutama orang-orang yang miskin, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan uluran tangan? Maka, siapa pun yang memiliki kelebihan uang, makanan atau pakaian hendaknya mencari saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Betapa banyak jumlah mereka! Karena hal itu dapat menciptakan kesetiakawanan dan menanamkan belas kasih. Dan hal itu akan meraup pahala yang melimpah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan orang-orang yang bergelimang harta, tetapi beberapa meter dari tempat tinggalnya ada saudara-saudaranya sesama muslim menjerit kelaparan, adalah orang-orang yang tidak mau membuktikan dasar yang agung ini.
Wahai umat Islam! Ketika mengingatkan tentang kewajiban membangun ukhuwwah Islamiyyah, kita tidak boleh melupakan saudara-saudara kita yang seiman dan seakidah di berbagai belahan dunia. Kita semua berkewajiban memberikan bantuan, dukungan, doa, sumbangan, dan pertolongan kepada mereka. Lebih-lebih mereka yang tengah berjuang dengan tabah dan minoritas muslim yang tertindas di mana-mana.
Kepada mereka yang tidak mau menyumbang dan tidak mau mendoakan saudara-saudaranya saya katakan: Jangan begitu! Karena saudara-saudara Anda sangat membutuhkan dukungan, bantuan dan doa Anda. Jangan menganggap remeh apa yang bisa Anda berikan.
Sementara saudara-saudara kita yang ada di Palestina terus-menerus melakukan aksi heroik dan berjuang mati-matian, kendati bakal mereka sangat sedikit. Mereka terus menunggu uluran tangan, bantuan dan doa dari saudara-saudaranya yang seiman, sampai Allah berkenan membebaskan tanah suci itu dari pendudukan para perampok dan kotoran pada penjajah. Dan hal itu tidaklah sulit bagi Allah.
بارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ . أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذ ا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
PERJALANAN HIDUP MANUSIA
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الحمد لله الذ ي خـلـق الـجـنـة و خـلـق أهـلـهـا * و خـلـق الـنـار و خـلـق أهـلـهـا * أشـهـد ان لأ اله الا الله وحده لا شـريك له شهادة تـنـجى مـن الـنـار قـائـلـهـا * وأشـهد أن محمدا عبـده ورسـوله الـمـبـعـوث لـتـتــمـيـم مـكارم الأخـلاق وأحـسـنـهـا * اللهـم صـل وسـلم وبارك على سـيد نامحمـد صلاة تـجـيـرنـا بهـا من الـنـار وعـذا بـهـا * وتـدخلـنـا بـهـا الـجـنــة وفـسـيـحـهـا * وعلى ألـه وأصــحابه ومن تبعهم الـذيـن خـيـر ألأمـة وأتـقـاهـا * أمـابعـد فيـا عبـادالله أوصــيكم واياي بتقـوى الله لـعـلـكم تـفـلـحـون * وَقَدْ قَالَ اللهَ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: أَعُـوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ* بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ * فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ *
Saudaraku Kaum Muslimin yang berbahagia, Marilah kita senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah, dengan taqwa yag sebenar benar taqwa, dengan senantiasa menunaikan perintah serta menjauhi yang dilarang, dalam keadaan seperti apapun, dimanapun dan kapanpun. Agar kita senantiasa mendapatkan rahmat dan kebahagiaan hidup didunia ini sampai di akherat.Amiin. Allah telah berfirman :
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ * لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang orang yang beriman dan bertaqwa kepda Allah, bagi orang orang itu kebahagiaan di dalam hidupnya dunia sampai akhirat”.(QS. Yunus 63-64).
Saudaraku Kaum Muslimin yang berbahagia, perjalanan hidup manusia pada akhirnya tentu hanya menuju satu diantara dua tempat, surga atau neraka. Allah menciptakan keduanya tentu juga menciptakan calon penghuni yang bakal menempatinya. Kita juga tentu maklum siapa yang bakal menempati masing masing keduanya. Karena Allah telah menjanjikan akan menempatkan hambanya yang beriman di surga, dengan firman Nya :
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ
“Allah Ta’ala telah menjanjan kepada orang orang mukmin laki laki maupun perempuan, bakal memasukkan di dalam surga , yang dari bawah surga itu mengalir bengawan merka akan langgeng selamanya, ditempat yang indah indah dan bagus di dalam surga Adn.”. (QS. At Taubah : 72).
Janji ini sebagai berita gembira dari Allah bagi kita orang orang mukmin, akan mendapatkan anugerah kamuliyaan yang kekal didaam surga ‘Adn. Adapun yang bakal tinggal menghuni neraka, Allah juga telah berfirman, menyiapkan calon calon penghunininya, sebagai ancaman yang difirmankan dalam Al Qur’an :
وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah telah memberikan ancaman bagi orang orang munafiq laki maupun perempuan dan juga bagi orang orang kafir, akan dimasukkan di dalam neraka jahannam selama lamanya tak akan dikeluarkan di dalamnya . (QS. At Taubah : 68).
Sesungguhnya telah jelas siapa yang bakal mulia masuk kedalam surga, dan siapa yang akan celaka terjerumus kedalam neraka. Orang orang yang beriman laki mauun perempuan, akan bahagia hidupnya dialam surga selamanya, begitupun sebaliknya orang orang kafir yang tidak beriman iman, yang selalu membangkang dan menentang kepada peraturan Allah, kan hina dina dan disiksa dilembah neraka selamanya. Demikian pula orangorang yang munafiq, orang yang nampak nya Islam, bahkan juga shalat juga shiyam bahkan menunaikan haji, akan tetapi didalam hatinya sama sekali tiada iman bahkan mngkin memusuhi Islam. Orang ini nampak lahirnya sangat baik, tetapi sesungguhnya hatinya sebaliknya. Ibarat ketela pohon yang direbus matang diluarnya tetapi mentah didalamnya, kita menyebutnya ketela konyol. Orang semacam ini juga akan menghuni neraka jahannam selamanya. Oleh karenanya berhti hatilah menghadapi orang semacam ini, jangan sampai kita terpedaya olehnya, terbujuk oleh penamilan lahir yang menampakkan kebaikan tetapi sesungguhnya memusuhi Islam dari dalam Islam itu sendiri.
Apabila tela jelas siapa oarang ang akan menghuni surga dan siapa pula yang akan menghuni neraka,
Maka marilah kita jaga diri kita jangan sampai tidak termasuk orang orang yang akan menghuni surga . Ringkasinya orang itu terbagi menjadi tiga :
1. orang mukmin, 0rang yang beriman kepada Allah dan utusanya, calon penghuni surga.
2. orang kafir, orang yang membangkang, menentang kepada Allah, tidak percaya kepadan Allah dan utusanya, calon penghuni neraka, sebagaimana janji dan ancaman Allah.
3. orang munafiq, calon penghuni neraka, orang yang nampak lahirnya menmpakan keislamanya tetapi tidak ada iman didalam hatinya.
Saudaraku Kaum Muslimin yang berbahagia, Jelaslah janji dan ancaman Allah, oleh karena kita telah mendapatkan anugerah dari Allah berupa akal yang sempurna, kemampuan berdaya dan berupaya, marilah kita gunakan dengan pertimbangan akal dan fikiran kita, Dan berikhtiyar, berupaya menggapai kebahagiaan hidup didunia ini sampai diakhirat kelak. Dengan cara melakukan amal amal shalih dan menambah tha’at ibadah kita kepada Allah. Tersebut dalam kitab Nashaihud diniyah bahwa Nabi pernah bersabda :
اعــمـلـوا فـكل مـيـســر لـمـا خـلـق لـه , مـن خـلـق للـجـنـة يـسـر لـعـمـل أهـل الـجـنـة ,و مـن خـلـق للـنـار يـسـر لـعـمـل أهـل الـنـار
“Berbuatlah kamu, karena setiap manusia itu dimudahkan melakukani perkara yang menuju kearah dimana ia di ciptakan. Barang siapa yang diciptakan calon penghuni surga, niscaya akan dimudahkan berbuat amal sebagaimana ahli surga. Dan barang siapa yang diciptakan calon penghuni neraka, niscaya akan dimudahkan berbuat amal sebagaimana ahli neraka”. (Nashaihud diniyah : 17).
Saudaraku Kaum Muslimin yang berbahagia, Manakala kita memang tercipta seagai caln penghuni surga, tentulah mudah bagi kita berbuat baik, melakukan ibadah dan amal shalih tanpa rasa malas dan terasa mudah an ringan, seolah olah dituntun bagai air mengalir menuju tmpt yang rendah, karena memang sudah beriman dan ada semangat beramal aik, memang orang inilah calon ahli surga. Sebagaimana firman Allah :
فَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“Orang orang yang beriman dan beramal shalih, mereka itulah orang orang yang akan kekal di dalam surga Na’im”. (QS. Al Hajj : 56).
Saudaraku Kaum Muslimin yang berbahagia, Orang orang yang beriman dan bertaqwa , takut kepada Allah dan juga beramal shalih, akan mendapatkan kegembiraan, kebahagiaan hidupnya sejak didalam dunia sampai dialam akhirat, sesuai dengan impian dan keinginan setiap manusia bahagya didunia dan akhirat, sebagaimana yang senantiasa dipohonkan dalam setiap do’a di setiap sa’at. Insya Allah akan diijabahi oleh Allah manakala benar benar memenuhi perintah Allah senantiasa beriman dan taqwa. Allah telah menjanjikan menjanjikan :
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ * لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang orang yang beriman dan bertaqwa, bagi mereka kebahagiaan di dalam hidupnya di dunia dan di akhirat, tiada pernah ada perubahan bagi janji Allah, Demikian itu semua sebagai angerah yang agung” (QS.Yunus : 63-64).
Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan pertolongan, sehingga mampu memenuhi kwajiban menghambakan diri kepada Allah, tetap iman Islam sampai akhir hayat, khusnul khatimah.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ* وَنَفَعَنِي وَإِيَّا كُمْ بِااْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ* إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ * قَالَ تَعَالَى وَهُوَ أَصْدَقُ اْلقائِلِيْنَ: أَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشًّيْطَانِ الرَّجِيْمِ* بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ* وَالْعَصْرِ* إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ* إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ* وَقُلْ رَبِّ اْغفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّحِمِيْنَ*
PERNIAGAAN YANG TAK AKAN RUGI
إنَّ الحَمْدَ لِلّه، نَحْمَدُهُ ونَسْتَعِينُهُ ونَسْتَغْفِرُه، نحمدُه – سبحانه – شَرَعَ الشَّرَائِعَ وأَحْكَمَ الأَحْكَامَ زماعًا، وخضَعَتْ لَهُ الأَكْوَانُ أَقْطَارًا وأَسْماعًا، اللّهم لَكَ الحمدُ بما خلَقْتَناَ وَهَدَيْتَنَا ورزَقْتَناَ، وبسَطْتَ أَمْنَناَ، وجَمَعْتَ كَلِمَتَناَ، وَوَحَّدْتَ صَفَّناَ، وَمِنْ كُلِّ مَا سَأَلْنَاكَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا، فَلَكَ الحمدُ والشُّكرُ يَترَى تِبَاعًا.
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له أَبَانَ حُقُوْقَ الرُّعَاةَ والرَّعَايَا طاَعَةً واَسْتِمَاعًا، وتآلُفًا واجتِمَاعًا، وأشهدُ أنَّ نبيَّنا وَسَيِّدَناَ محمدًا عبدُ اللهِ ورسولُهُ أشرفُ دَاعٍ خُصَّ اتِّسَاءً واتِّباعًا، اللَّهُمَّ صَلِّ وسلّم وبارك على سيّدنا ومولانا محمّدٍ صلَّى الله عليه وعلى آله وصحبِه أَنْعِمْ بِهِمْ آلاً وأَكْرِمْ بِهِمْ صُحْبًا وَأَتْبَاعًا، والتَّابِعين وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا مزيدًا.
أمّا بعد، فيا عباد الله:
أُوصِيكُمْ ونَفْسِي بالاِزْدِلاَفِ لِلْمَوْلَى – جَلَّ وَعَلاَ – بالشُّكْرِ عَلَى ما هَدَاكُمْ للإسلام، وأَوْلاَكُم مِنَ اْلفَضْلِ والإنْعَام، فَاتَّقُوهُ – تبارك وتعالى – حقَّ التّقوى في السِّرِّ والإعْلاَن، (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (الحشر: 18)
Hadirin jamaah shalat jum’ah yang mulia
Dalam kesempatan yang berbahagia ini marilah kita senantiasa meningkatkan mutu dan kualitas keimanan kita kepada Allah SWT dengan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu melaksanakan perintah Allah SWT sekuat tenaga kita dan bersungguh-sungguh dalam meninggalkan semua larangan Allah SWT, karena hanya dengan begitu kita akan meraih kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akherat nanti.
Hadirin jamaah shalat jum’ah yang mulia
Dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam dunia bisnis, perniagaan menjadi sebuah daya tarik yang telah mengakar sejak perniagaan itu dikenal. Bermula dari kebutuhan dan saling bertukar kepemilikan benda, perniagaan tumbuh dan berkembang sedemikian rupa hingga sekarang. Tetapi perniagaan tetaplah sebuah perniagaan dimana terdapat resiko kerugian di dalamnya, namun jika ada sebuah jaminan “tidak akan rugi”, sungguh merupakan daya tarik yang sangat besar sekali, terutama jaminan “tidak akan rugi” itu datang dari Allah SWT, Dzat yang tidak akan mengingkari janji, tentunya perniagaan tersebut menjadi sesuatu yang diidam-idamkan oleh setiap manusia.
Perniagaan dengan jaminan “tidak akan rugi” ini bukan perniagaan biasa tetapi sebuah perumpamaan sesuatu yang akan menjadikan apa yang kita investasikan membuahkan keuntungan yang luar biasa.
Al Qur’an telah mengajarkan kita bagaimana kita dapat memperoleh perniagaan dengan jaminan “tidak akan rugi” tersebut. Allah SWT berfirman dalam surah fathir ayat 29 – 30 :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
“Sesunguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (al-quran), dan melaksanakan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. (29) Agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karuniaNya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (30).”
Dalam 2 (dua) ayat diatas secara tegas Allah SWT menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) perkara yang dapat dijadikan modal untuk memperoleh perniagaan dengan jaminan “tidak akan rugi” tersebut.
Pertama, الذين يتلون كتاب الله, orang-orang yang selalu membaca kitab Allah. Dalam kitab tafsir al-Bahru al-Muhith disebutkan bahwa Mutharrif bin Abdullah, seorang Tabi’in yang lahir di masa Nabi SAW tetapi tidak sempat bersua dengan beliau berkata: bahwa maksud dari ayat ini adalah mereka yang melanggengkan membaca al-qur’an, mengikuti isi dari al-qur’an sekaligus mengamalkan maksud dan kandungan isi al-qur’an.
Membiasakan diri untuk selalu membaca al-qur’an adalah sebuah aktifitas yang dapat mendatangkan manfaat yang sangat besar. Diantaranya adalah mendapatkan kebaikan hingga berlipat ganda. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Nabi SAW bersabda:
عن إبن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ) : مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتاَبِ الله فَلَهُ حَسَنَةٌ والحَسَنةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهاَ ، لا أَقُولُ الم حرفٌ ، ولكن أَلِفٌ حَرْفٌ ، ولامٌ حَرْفٌ ، وَمِيْمٌ حرفٌ (رواه الترمذي
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (al-Quran) maka dengan membaca itu ia mendapat satu kebaikan dan satu kebaikan akan diganjar dengan 10 kali lipat. Aku tidak berkata alif lam mim itu satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.
Membaca al-Qur’an juga akan mendatangkan nur (cahaya) di dunia dan sebagai investasi di akherat.
عن أبي ذرّ رضي الله عنه قال قلت : يا رسولَ الله أَوْصِنِي . قال :«عليكَ بتقوى الله ؛ فإنه رأسُ الأمرِ كلِّهِ» . قلتُ : يا رسولَ الله زِدْنِي . قال :«عليك بتلاوة القرآن ؛ فإنه نورٌ لك في الأرض ، وذُخْرٌ لك في السَّماء
Dari Abi Dzar RA berkata: aku berkata: “Wahai Rosulullah berilah wasiat kepadaku,” Rosulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah karena itu adalah pokok dari segala urusan,” aku berkata: “Wahai Rosulullah tambahilah (wasiat) kepadaku,” Rosulullah SAW bersabda: “Hendaklah kamu membaca al-Qur’an, karena itu menjadi cahaya bagimu di bumi dan simpanan bagimu di langit.”
Sindiran bagi orang yang tidak gemar membaca al-Qur’an pernah disampaikan oleh Nabi SAW. Nabi SAW memberikan perumpamaan orang yang tidak gemar membaca al-Qur’an seperti rumah rusak yang tidak layak huni. Na’udzu billahi min dzaalik.
عن ابن عباسٍ رضي الله عنهما ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : إنَّ الَّذِي لَيْسَ في جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ كَالبَيْتِ الخَرِبِ
Dari Abdullah bin Abbas RA berkata bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya (perumpamaan) seseorang yang tidak terdapat sedikitpun al-Qur’an dalam tenggorokannya adalah bagaikan rumah yang rusak.”
Hadirin jamaah shalat jum’ah yang mulia
Kedua, وأقاموا الصلاة , orang-orang yang mendirikan shalat.
Shalat menjadi salah satu modal untuk mendapatkan perniagaan dengan jaminan “tidak akan rugi” karena kedudukan shalat bagi seorang mukmin adalah sebuah kebutuhan, bukan sebatas kewajiban. Shalat menjadi tolok ukur amal perbuatan yang lain. Ketika shalat seseorang baik di mata Allah SWT maka ia termasuk orang yang beruntung.
Shalat merupakan wahana untuk berbisik-bisik (munajat) kepada Allah SWT. Ketika telah memenuhi syarat dan rukunnya lalu dilakukan dengan penuh penjiwaan makna (khusyuk) dan kondisi seperti ka nada dihadirkan dalam setiap aktifitas sehari-hari maka shalat akan mampu menghindarkan seseorang dari melakukan tindakan keji dan munkar. Hal inilah yang menjadi makna dari surah al-ankabut ayat 25. Ibnu Juraij, salah seorang ahli tafsir berkata di dalam kitab Tafsir al-Qurthuby:
العبد ما دام في صلاته لا يأتي فحشاء ولا منكرا، أي إن الصلاة تنهى ما دمت فيها
“Selama seseorang (saat melakukan aktifitasnya sama seperti) saat ia melakukan shalat (khusyuk, penuh penjiwaan makna, bahwa ia sedang bermunajat dan merasa selalu diawasi Allah SWT) niscaya ia tak akan pernah melakukan tindakan keji dan munkar.”
Hadirin jamaah shalat jum’ah yang mulia
Ketiga, وأنفقوا ممّا رزقناهم سرّاً وعلانيةً, dan mau menginfaqkan sebagian dari rizki yang telah Kami anugerahkan secara diam-diam dan terang-terangan. Infaq secara diam-diam adalah shodaqoh sunnah, sedangkan infaq secara terang-terangan adalah shodaqoh wajib (zakat).
Ayat ini mengajarkan kita untuk menjadi seorang mukmin yang dermawan dan memiliki kepedulian terhadap ka na. Sifat dermawan akan mampu memudahkan seseorang untuk mendapat kasih ka na Allah SWT, mendekatkan menuju ka n, disukai ka na dan menjauhkan dari neraka, sebaliknya sifat kikir akan menjauhkan seseorang dari kasih ka na Allah SWT, menjauhkan dari ka n, tidak disukai ka na dan mendekatkan kepada siksa neraka, bahkan seseorang yang kurang pengetahuan agamanya tetapi dermawan lebih disukai Allah SWT dari pada seorang ahli ibadah tetapi kikir.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الَسَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنَ الله، قريبٌ مِنَ الجَنَّة، قريبٌ مِنَ النَّاسِ، بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ. وَالبَخِيلُ بَعِيدٌ مِنَ الله بَعِيدٌ مِنَ الجَنَّةِ، بَعِيدٌ مِنَ النَّاسِ، قَرِيبٌ مِنَ النَّارِ. وَالْجَاهِلُ الَسَّخِيُّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ تعالى مِنْ عَابِدٍ بَخِيْلٍ
Harta yang diinfaqkan di jalan Allah SWT tidak akan menjadikannya berkurang, justru dengan begitu Allah SWT akan menjadikannya semakin berkembang. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqoroh ayat 276 :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ 276
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.”
Hadirin jamaah shalat jum’ah yang mulia
Jika ketiga hal di atas dapat kita lakukan secara kontinyu dan penuh keikhlasan maka akan ada 2 (dua) manfaat yang akan diperoleh sebagai imbal balik atas apa yang telah kita lakukan;
Pertama, لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُوْرَهُمْ , Allah akan menyempurnakan pahalanya kepada mereka. Ganjaran atas amal baik tersebut pasti akan diberikan oleh Allah SWT, dan Kedua, وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ, dan Allah SWT akan menambah karuniaNya, ka nada bonus berupa fadhol (karunia) diluar ganjaran pokok.
Begitulah perumpamaan yang disampaikan al-Qur’an kepada kita, agar supaya kita termasuk orang-orang yang mampu mendapatkan perniagaan dengan jaminan “tidak akan rugi” tersebut. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
باَرَكَ اللهُ لي ولَكُمْ في القرآن العَظيم, وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيآتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيم , وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْن
MENCARI KEBERKAHAN HIDUP
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah
Berkah ini sering kita jadikan tujuan hidup di samping mencari ridho Allah. Keberkahan membuat hidup kita menjadi bahagia. Di pesantren, kita diajarkan yang penting mencari berkah, bukan sekadar kepintarannya. Kalau sekadar pintar saja tetapi tidak berkah maka ilmu tersebut bisa menjadi malapetaka.
Orang tua kita juga memberi pesan agar dalam hidup, yang kita cari adalah berkah. Dan berkah ini tidak selalu berkorelasi dengan banyaknya harta yang kita miliki. Ada sebuah hadits yang sering dijadikan doa, terutama kepada pengantin yang seringkali dijadikan sebuah kutipan dalam undangan pernikahan.
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا
Artinya: “Semoga Allah memberi berkah untukmu, memberi bekas atasmu, dan menghimpun yang terserak di antara kalian berdua.” (HR At-Turmudzi)
Dalam kajian ilmu Nahwu kalimat “laka”, itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya menguntungkan atau menyenangkan. Kalau yang tidak enak, menggunakan kata “alaika”. Ternyata, bahasa laka dan alaika digunakan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut supaya orang itu mendapat keberkahan baik dari hal yang enak maupun yang tidak enak. Semuanya ada nilai keberkahannya. Bagi sementara orang, keberkahan itu sesuatu yang enak secara fisik saja. Padahal bisa jadi, yang tidak enak itu lah yang sebenarnya menjadi berkah.
Misalnya, setelah menjadi seorang anggota DPR harus masuk penjara. Ini menunjukkan sesuatu yang tampaknya enak, berupa jabatan tinggi yang dihormati banyak orang, ternyata malah membawa bencana. Orang sakit juga bisa mendapat keberkahan karena dengan beristirahat, maka ia memiliki kesempatan untuk mengevaluasi dirinya, momen yang tai a peroleh lantaran kesibukan dirinya. Ini menunjukkan bahwa antara yang menguntungkan dan tidak menguntungkan, sama-sama mendapat peluang mendapat keberkahan.
Bertambahnya sesuatu juga belum tentu membawa kebaikan jika tidak mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang tambah umurnya belum tentu lebih berkah, orang yang tampak rezekinya juga belum tentu tambah berkah. Demikian pula, orang yang tambah ilmu juga belum tentu mendapatkan berkah jika ilmu tersebut hanya menjadi kebanggaan diri, bukan untuk diajarkan kepada orang lain atau untuk menambah keimanan kepada Allah.
مَنِ ازْدَادَ عِلمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلّا بُعْدًا
Artinya, Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk yang ia raih, niscaya dia hanya menambah jauh jarak dari Allah
Jadi ilmu tambah bukan berarti semakin dekat dengan Allah. Ini adalah cerminan dari ilmu yang tidak berkah.
Jama’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah,
Berkah itu maknanya kebahagiaan. Orang berbahagia itu sering diukur hanya dari ukuran fisiknya. Benarkah demikian? Dalam pandangan agama, tanda-tanda kebahagiaan tidak selalu yang tampak secara dhahir. Karena tampilan lahiriah sejumlah orang bisa saja seolah bahagia, tapi batin mereka menderita.
ومِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS: al-Rum 21)
Sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah adalah Ia menciptakan istri-istri yang dapat menentramkan jiwa dan menciptakan kasih sayang antara keduanya. Kebahagian rumah tangga bukan terletak pada kecantikan istri atau kekayaan suami. Misalnya, apa iya kalau punya istri cantik terus berbahagia. Mungkin iya, tetapi mungkin saja tambah pusing. Belum tentu mendapat kebahagiaan. Betapa banyak pasangan cantik rupawan yang justru berakhir pada perceraian. Bahkan rata-rata penggugat dating dari perempuan. Ini bukti bahwa mereka tidak bahagia. Karena itu, hal yang bersifat dhahir menarik tidak menjamin rasa bahagia. Standar untuk menilai kebahagiaan keluarga tidak dilihat dari harta apa yang dimiliki, tetapi apakah suami istri tersebut memiliki akhlak yang baik. Jika mereka memiliki akhlak yang mulia, insyaallah mereka akan berbahagia.
Keberkahan bisa kita raih dengan senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wata’ala seraya terus menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, qana’ah, gemar bersedekah, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain-lain.
MENCARI ILMU DEMI MENGGAPAI RIDHO ALLAH
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أخْرَجَ نَتَائِجَ أفْكاَرِنَا لِإِبْرَازِ أَيَاتِهِ وَالَّذِيْ أفْضَلَنَا بِالْعِلْمِ وَاْلعَمَلِ عَلَى سَائِرِ مَخْلُوْقَاتِهِ ، وَرَافِعُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا العِلْمَ دَرَجَاتٍ أَشْهَدُ أنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ يُمْلَئُ بِجَمِيْعِ اْلفَضَائِلِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ وَعِتْرَتِهِ الطَّاهِرِيْنَ إلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ : يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا اْلعِلْمَ دَرَجَاتٍ ، وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَلَبٌ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Ma’aasirol Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Tak henti-hentinya para khatib senantiasa menekankan dalam setiap khutbah Jum’at, bahwa sebagai hamba Allah, kita harus senantiasa meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. meningkatkan ketaatan dan ibadah kepada Allah agar, kita bertambah dikasihi dan dirahmati Allah SWT.
Adapun untuk meningkatkan ketaqwaan, maka tentu saja kita harus mau belajar, mau mengaji dan mau menimba ilmu. Seluruh ilmu yang dapat menjadikan kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah. Baik itu berupa ilmu-ilmu ibadah mahdoh, seperti tata cara sholat, membaca Al-Qur’an, berpuasa dan berhaji. Ataupun ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.
Kata “Ilmu” itu berasal dari Bahasa Arab ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman, yang berarti “Mengerti sesuatu”. Atau juga berasal dari kala ‘allama yang berarti “memberi tanda atau petunjuk” yang berarti pengetahuan.
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia
Setiap orang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu, hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW :
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.”
Dengan semakin sering kita menuntut ilmu, maka kita akan lebih banyak tahu tentang banyak hal.
Meski benar bahwa prioritas dalam menuntut ilmu adalah mempelajari ilmu agama, khususnya ilmu iman dan islam serta ilmu mengenal Allah. Namun umat Islam tidaklah boleh begitu saja mengabaikan ilmu-ilmu lainnya. Karena tanpa ilmu, umat Islam hanya akan menjadi terbelakang dibandingkan dengan umat-umat lain di muka bumi ini.
Hadirin Sidang Jum’at yang Dimuliakan Allah
Bahkan dalam hal mencari pemimpin pun kita juga tidak boleh seenaknya saja. Melainkan juga harus memilih pemimpin dengan mempertimbangkan kadar keilmuan sang pemimpin. Hal ini telah disinyalir oleh Allah dalam firman-Nya:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًا ، قَالُوْا أنَّى يَكُوْنُ لَهُ اْلمُلْكَ عَلَيْناَ وَنَحْنُ أَحَقُّ بِاْلمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ اْلمَالِ ، قَالَ إنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِيْ العِلْمِ وَاْلجِسْمِ ، وَاللهُ يُؤْتىَ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Nabi Bani Israil mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2 : 247)
Ayat ini menunjukkan bahwa, bagaimana pun juga kita tidaklah dapat mengunggulkan harta jika sang pemiliknya bodoh. Al-Qur’an telah menceritakan kisah Qorun sebagai contoh bahwa sungguh tidaklah elok, jika manusia hanya mengumpulkan harta tanpa berusaha menambah wawasan-awasan keilmuannya. Sebagaimana firman Allah :
قَالَ إنَّمَا أوْتِيْتُهُ عَلىَ عِلْمٍ عِنْدِيْ ، أَوَلَمْ يَعْلَمْ أنَّ اللهَ قَدْ أهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ اْلقُرُوْنِ مَنْ هُوَ أشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأكْثَرَ جَمْعًا ،وَلاَ يُسْئَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ اْلمُجْرِمُوْنَ
Qorun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. ِAl-Qashash, 28:78)
Ayat ini menunjukkan bahwa kita juga mesti mengedepankan untuk memilih pemimpin yang berilmu, bukan hanya yang paling kayaa atau paling kuat saja. Melainkan juga berdasarkan keluasan ilmunya.
Sidang Jum’at yang Dirahmati Allah
Dengan ilmu kita dapat menyingkap tabir kehidupan manusia dan memahami rahasia-rahasia yang diciptakan Allah agar diungkapkan oleh manusia demi kemajuan peradabannya.
Memang benar bahwa mencari ilmu sungguh terasa amat berat. Terutama ilmu-ilmu yang dapat semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Karenanya, tentu menjadi sangat benar, sabda Rasulullah SAW :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًايَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ .رَوَاهُ مُسْلِم
Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga. (HR Muslim)
Pada hadits ini, ungkapan “salaka (menempuh Jalan)” bukan hanya mencakup arti jalan secara indrawi yaitu jalan yang dilalui kedua kaki, seperti sesorang pergi dari rumahnya menuju tempat untuk menimba ilmu baik berupa masjid, madrasah, ataupun universitas dan lain sebagainya.
Namun termasuk pula mencakup arti jalan secara maknawi. Maksudnya adalah, hal-hal yang memberatkan selama perjalanan tersebut, misalnya biaya dan waktu yang tersita. Misalnya saja seseorang harus menempuh perjalanan jauh dalam rangka mencari ilmu. Perjalanan dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain dan dari negerinya ke negeri lain untuk mencari ilmu. Maka ia tidak hanya harus mengeluarkan biaya berupa harta, namun juga harus mengorbankan perasaan untuk meninggalkan keluarga dan sahabat dan kampong halaman yang dicintainya.
Ini semua adalah termasuk hal-hal yang harus bisa diatasi dalam menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu. Namun tentu semuanya akan tergantikan manakala ia telah mendapatkan ilmu yang diinginkannya. Jika seseorang ingin sukses di dunia, ilmu akan membawanya menuju kesuksesan. Dan jika ia ingin beruntung di akhirat kelak, maka ilmu pulalah yang akan mendekatkan keberuntungan dan fadhal Allah tersebut. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu ’Asakir :
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَمَنْ أرَادَ اْلأخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَمَنْ أرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ
Siapapun yang menghendaki (keberhasilan ) dunia maka ia harus berilmu, Siapapun yang menghendaki (keberuntungan) akhirat, ia pun harus berilmu, dan siapapun yang menghendaki keduanya, tentu ia harus berilmu.
Hadirin Sekalian yang Berbahagia
Mestinya kita merenungkan kembali pernyataan sahabat Mu’adh bin Jabal RA. sebagaimana dikutip dalam kitab Hilyat'ul Awliya Wa Tabaqat'ul Asfiya, bahwa meraih ilmu pengetahuan adalah demi ridho Allah. Karena pengetahuan melahirkan kesalehan, mengagungkan Ilahi dan takut akan dosa. Mencari ilmu demi ridho Allah adalah ibadah, belajar adalah sikap mengingat kebesaran Allah (Zikir).
Sahabat Mu’adh juga menyatakan, mencari ilmu adalah perjuangan yang pahalanya seperti pahala berjihad (berperang). Mengajarkannya ilmu kepada mereka yang menganggapnya berharga adalah sedekah, dan mengamalkannya pada rumah seseorang memperkuat tali silahturahmi di antara keluarga.
Ilmu adalah sahabat penyejuk ketika dalam kesendirian. Ilmu adalah sahabat terbaik bagi para pengelana. Ilmu adalah sahabat terdekatmu yang menyampaikan rahasianya kepadamu. Ilmu adalah pedangmu yang paling ampuh untuk lawanmu, dan terakhir, ilmu adalah pakaian yang akan menaikkan derajatmu dalam jamaah persaudaraanmu.
Telah jelas dalam firman Allah SWT :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى اَّلذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْن لاَ يَعْلَمُوْنَ
Adakah sama, antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui (QS. Az-Zumar, 39 : 9).
Tentu kita semua bisa menjawabnya dengan mudah. Karena ilmu jelas-jelas membedakan antara mereka yang memilikinya dan mereka yang tidak memilikinya.
Maka sebagai akhir khutbah ini, saya ingin berpesan, marilah kita semua tiada henti menuntut ilmu, hingga akhir hayat. Di mana pun dan kapan pun. Tak terbatas hanya di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun di pengajian-pengajian saja. Namuan juga dalam setiap hal dan kesempatan yang diberikan oleh kehidupan kita.
Karena ilmu pengetahuan adalah puncak segala kebahagiaan, sebagaimana kebodohan adalah titik awal dari segala keburukan. Keselamatan datang dari ilmu, kehancuran datang dari kebodohan.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
ORANG YANG PANDAI
ان الحمد لله الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله. أرسله بشيرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا. أشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له. شهادة اعدها للقائه ذخرأ. واشهد ان محمدا عبده و رسوله. ارفع البرية قدرا. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا. أما بعد. فياأيها الناس اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وأنتم مسلمون.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Pada kesempatan ini pertama-tama khatib ingin mengajak diri khotib dan jama’ah semua untuk meningkatkan taqwa. Sesungguhnya taqwa itu Bermula dari mengindar larang-larangannya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Teringat ketika kita masih kecil, maka orang tua kita sering mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar. Memang kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari kita ada yang menghitung berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ yang rendah, mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan kepintaran dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam, kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Jadi ada dua parameter orang yang pandai yaitu orang yang sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan setelah meninggal.
Muhasabah
Muhasabah dari kata hisab yang berarti perhitungan atau melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres aktifitas dan menilik hal apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan, agar kita bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita.
Al Quran menyuruh kita untuk muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£‰s% 7‰tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Sahabat Umar r.a. berkata:
”Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”
Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas bermakna bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih sering memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh karena itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan, bulanan atau tahunan.
Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akhirat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner, selalu menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam pengembangan software.
Beramal untuk Bekal
Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk hari kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga berinfaq atau membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari akhir. Dalam surat Al Qashash 77, Allah SWT berfirman:
Æ÷tGö/$#ur !$yJ‹Ïù š9t?#uä ª!$# u‘#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u‹÷R‘‰9$# (
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Bahkan dalam ayat ini disebutkan keutamaan terhadap bekal di dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Beginilah pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan dalam kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa diraih.
Secara ringkas, kepandaian yang hakiki dapat dicapai oleh setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi seorang muslim yang pandai.
Demikianlah khotabah kali ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal ‘aalamiin
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
BEKAL APA YANG SUDAH KITA SIAPKA UNTUK MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانِ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ،
فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Jauh-jauh hari umat Islam menunggu datangnya bulan suci Ramadhan. Bahkan Rasulullah sendiri memberikan teladan doa yang dilantukan sejak bulan Rajab. Doa tersebut berbunyi:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan.”
Kerinduan orang terhadap Ramadhan adalah hal yang wajar, karena di bulan suci itulah berbagai karunia agung dilimpahkan, yang tidak kita temukan di bulan-bulan lainnya. dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dikatakan:
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَفُتِحَتْ أَبُوَابُ الجَّنَةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
Artinya: “Ketika masuk bulan Ramadlan maka setan-setan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup.”
Hadits ini bisa kita maknai secara haqiqi (harfiah), bisa pula kita maknai secara majazi (metaforis). Secara metaforis, hadits tersebut ingin menunjukkan bahwa jalan menuju kebaikan di bulan Ramadhan sangatlah mudah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa sepertiga pertama Ramadhan adalah rahmah (kasish sayang), sepertiga kedua adalah maghfirah (ampunan), dan sepertiga terakhir adalah pembebasan dari api neraka. Belum lagi pelipatgandaan pahala kebaikan dan keutaman-keutamaan lain, seperti Lailatul Qadar yang merupakan malam ibadah yang setara dengan seribu bulan.
Dengan bahasa lain, Allah telah membukakan pintu kebaikan seluas-luasnya di bulan Ramadhan dengan berbagai keistimewaan. Ini adalah iming-iming yang menggiurkan bagi mereka yang mengimani pahala dan kehidupan akhirat. Di sisi lain, orang yang berpuasa dituntut untuk sanggup mengekang dirinya sendiri, baik secara fisik maupun batin, baik dari makan dan minum maupun perbuatan maksiat. Inilah makna “setan terbelenggu” secara majazi, di mana orang yang berpuasa disediakan fasilitas khusus agar mudah menghindari dosa dan meraih pahala.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Lantas apa yang mesti kita siapkan dalam rangka menyambut bulan suci itu? Umumnya kita lihat tiap menjelang Ramadhan pasar-pasar menjadi kian ramai dan pusat-pusat perbelanjaan kita sesak. Orang-orang dengan antusias mempersiapkan diri menyambut peralihan kebiasaan baru selama sebulan, yakni tidak makan dan minum pada siang hari. Mereka berbelanja sejumlah bahan makanan khusus karena ingin mendapat kesan berbuka atau makan sahur yang terbaik. Begitu pula persiapan biasanya juga ada pada segi busana atau perlengkapan ibadah.
Namun demikian, mesti kita catat bahwa berbagai persiapan tersebut baru sebatas level persiapan fisik. Seluruhnya disediakan untuk memaksimalkan diri menjalankan ibadah Ramadhan lebih nyaman, tenang, dan intensif selama satu bulan. Yang paling penting dari semuan itu adalah persiapan dari segi batin. Yang disebutkan terakhir ini membutuhkan kemantapan hati yang bulat, tekad pribadi kuat, dan penataan niat yang benar-benar lurus.
Ibarat sebuah perjalanan, Ramadhan adalah perjalanan jauh. Puasa di dalamnya berbeda dari puasa-puasa pada hari biasa. Nilai penting dari bulan suci ini berlipat-lipat. Puasa pada bulan Ramadhan bestatus wajib bagi seluruh umat Islam yang baligh dan berakal. Apresiasi Allah bagi orang-orang yang menjalankan ibadah pun tergolong sangat spesial. Dengan demikian, menuju Ramadhan membutuhkan perbekalan yang cukup agar selama “perjalanan” selama satu bulan berlangsung dengan lancar, tanpa hambatan.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Sebagai sebuah perjalanan, Ramadhan tentu punya arah dan tujuan yang jelas. Tujuan tersebut secara tegas disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”
Dari ayat ini jelas bahwa tujuan berpuasa adalah agar kita bertakwa. Takwa sejatinya adalah kewajiban. Al-Qur’an memerintahkan bahwa kita wajib bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan memperingatkan secara keras agar tidak mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Jika takwa dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 menjadi tujuan berpuasa, maka puasa Ramadhan tidak lain adalah sebuah perjalanan mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana kita tahu, tak semua perjalanan berlangsung mulus. Akibat godaan-godaan tertentu, seorang penempuh perjalanan bisa saja tidak sampai tujuan sebenarnya. Entah karena bingung arah, tujuan yang bercabang-cabang, atau hambatan-habatan lain yang membuat kita tidak fokus pada tujuan. Begitu pula ketika kita berpuasa. Tidak otomatis shaim (orang yang berpuasa) selalu pasti menjadi muttaqin (orang yang bertakwa). Karena, meski tidak dapat dipisahkan satu sama lain, puasa dan takwa adalah dua hal yang berbeda: yang satunya adalah perjalanan dan satunya lagi adalah tujuan.
Takwa bisa dimaknai sebagai kesadaran ilahiah, di mana manusia menyadari penuh akan kehadiran Allah dalam setiap ruang dan waktu. Takwa antara lain berefek pada kian ditaatinya seluruh perintah Allah dan dijauhinya segala larangan-larangan-Nya.
Lalu apa indikator takwa? Al-Qur’an salah satunya menyebut ciri orang bertakwa adalah:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Yaitu orang-orang yang berinfak di saat senang dan susah, orang-orang yang menahan amarah, dan orang-orang yang memberi maaf kepada orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Maidah: 134)
Orang yang bertakwa berarti pula orang yang memiliki hati yang lembut, tidak mementingkan diri sendiri, dan tidak pula orang-orang yang sombong. Hal tersebut kemudian mengejawantah dalam perilaku suka memberi pertolongan kepada orang lain, mudah memaafkan, dan mampu berpikir jernih dan rasional—tidak emosional.
Orang yang bartakwa juga dicirikan sebagai orang yang tak mudah silau dengan kehidupan duniawi. Sikap dan perilakunya berorientasi akhirat. Sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
وَمَا ٱلحَيَوٰةُ ٱلدُّنيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهوٌ وَلَلدَّارُ ٱلأَخِرَةُ خَيرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ. أَفَلَا تَعقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S. al-An’am: 32).
Dengan kriteria takwa yang demikian, kita bisa mulai menata niat dari sekarang untuk menempuh perjalanan ibadah puasa dengan kualitas yang tinggi. Kualitas tersebut diraih manakala seorang yang menjalankan ibadah Ramadhan fokus dan bertekad kuat sampai pada tujuan akhirnya: takwa. Niat dan tekad tentu lebih dari sekadar urusan fisik, melainkan batin yang kadang susah ditaklukkan karena harus bermusuhan dengan diri sendiri, nafsu atau ego sendiri. Semoga kita bisa melewatinya dengan kuat dan istiqamah.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
ENAM PESAN IMAM ALGHOZALI
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى فى القرأن العظيم كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ الله العلي العظيم
Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah
Pada kesempatan khutbah kali ini, pertama-tama saya mengajak pribadi saya sendiri dan kaum muslimin umumnya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Hanya dengan taqwalah bekal yang untuk menghadap-Nya nanti. Fainna khairaz zadit taqwa. Jangan ragukan janji Allah, bahwa ia hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya bukan dari sisi lainnya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Dalam khutbah kali ini saya hendak mengisahkan sebuah cerita diskusi antara Imam Al-Ghozali dengan muridnya. Ada enam pertanyaan yang dilontarkan beliau kepada para muridnya, dan kesemuanya sangat bagus untuk kita simak niali-nilai yang terkandung di dalamnya.
Suatu ketika Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya.
Wahai murid-muridku sekalian, coba kalian jawab "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI".
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (Ali Imran 185)
Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang. Karena itu manusia harus selalu bersiap diri menghadapinya. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya. Janganlah kita lengah dalam memahami hal ini, jangan sekali-kali merasa diri jauh dari mati, karena itu membuat kita besar hati. Justru kerahasiaannya harus kita maknai bahwa mati bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa adanya peringatan dari-Nya. Inilah yang hendak disampaikan oleh Al-Ghazali kepada murid-muridnya.
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Ini tepat dengan sebuah hadits yang menganjurkan bahwa kehidupan kita hari ini harus jauh lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika difikir lebih dalam, maka yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kali, sekali kita bertindak kesalahan kita tidak bisa merevisinya lagi. Paling banter kita hanya bisa bertobat dan berharap pengampunan. Sebagian pepatah bilang waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Emas, harta bisa dicari tapi waktu yang sudah berlalu tak mungkin hadir kembali.
Jama’ah Jum’ah yang berbahagia
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada di genggaman-Nya. Kita sebagai hamba hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah swt memberikan anugrah kepada kita agar mampu memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU"
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai". (Al A'Raf 179).
Nafsu adalah hal penentu pada diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki? Kendalikanlah nafsumu, ingin celaka selamanya? Turuti nafsumu... pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan tersembunyi dari al-Ghazali bahwa nafsu adalah hal paling besar, hal yang paling menentukan....
Kemudian al-Ghazali meneruskan pada Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Murid-murid Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH"
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh", (QS. 33:72) (Al Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Pertanyaan Imam al-Ghazali yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara hal-hal yang sepele saja kita meninggalkan sholat.
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara hal-hal yang sepele saja kita meninggalkan sholat.
Kita harus ingat bahwa sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah kewajiban terpenting di dunia ini. Namun anenya, meski demikian sholat adalah hal termudah yang sering dilewatkan oleh orang-orang muslim? Ringan sekali mlewatinya.
Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Ingatlah sebuah hadits yang menerangkan:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
seorang muslim adalah orang bisa menjaga orang muslim lainnya dari lisannya dan tangannya.
Khirnya, di penghujung khotbah ini saya mengajak diri saya dan jama’ah sekalian bila ada waktu sering-seringlah merenung bahwa mati akan segera menjemput kita, insyaallah diri kita akan termotifasi untuk mengendalikan nafsu, menjalankan sholat, menjaga lidah dan memegang amanah.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
MAKNA IDUL FITRI
اللهُ اَكْبَرْ (9×) اللهُ أكبرْ كَبيْرَا وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكبَرْ اللهُ أكبَرْ وَللهِ الحَمْدُ، ألحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ أرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ،
أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهْ وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ، أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْاللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمْوْتُّن إلاَّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنِ، وَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كْتَابِهِ الْكَرِيْمِ : وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى أمَنُوْا وَاتَّقُوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالاَرْضَ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Hadirin jama’ah Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Dengan wajah yang cerah, pagi ini kita berkumpul untuk melaksanakan sholat idul fitri, sebagai wujud syukur kita kepada Allah SWT, dzat yang telah memberikan banyak nikmat kepada kita semua. Kita juga patut bersyukur Alhamdulillah, pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan sahabat, untuk bersama-sama menjalankan ibadah sholat idul fitri, berbagi rasa gembira dan bahagia, dibulan yang fitri ini. Karena di luar sana, masih banyak saudara- saudara kita, yang masih berada diluar daerah, atau karena himpitan ekonomi, mereka tidak dapat berkumpul bersama-sama kita untuk merayakan hari raya, hari kemenangan nan fitri ini.Kita juga patut bersyukur, bahwa kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT menjumpai hari raya idul Fitri pada tahun ini.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Dan ketahuilah, pada pagi ini adalah hari kita umat islam merayakan kemenangan setelah selama satu bulan penuh kita menghadapi peperangan yang besar, yakni memerangi hawa nafsu selama bulan ramadlan yang telah lewat. Kita telah berjuang dengan sungguh-sungguh, memerangi hawa nafsu, menahan lapar, menahan dahaga, serta menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa kita. Kita juga tenulah berjuang, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan berbagai bentuk ibadah, sholat tarawih, qiyamul lail, shodaqoh, dan ibadah-ibadah lainnya. Serta telah menutup serta menyempurnakan ibadah puasa kita, dengan zakat fitrah, sebagai pembersih jiwa kita, serta sebagai pembersih puasa kita dari segala bentuk tindakan yang dapat mengotori dan bahkan merusak pahala puasa kita.
Hadirin jama’ah idul fitri yang dimuliakan Allah
Sebagai perwujudan syukur atas kemenangan kita, selama semalaman kita kumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, sebagai ungkapan serta pernyataan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan lahir dan batin kepada kita, sehingga mampu menyelesaikan tugas dibulan ramadlan. Bahkan sampai pagi hari ini, kita masih kumandangkan bacaan takbir, tahlil dan tahmid, demi untuk mengagungkan Allah SWT, yang kemudian dilanjutkan dengan berkumpul bersama, untuk melaksanakan sholat jama’ah idul fitri pada pagi hari ini.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Wajar dan lumrah, ketika pada hari ini kita bersuka ria dengan menggunakan pakaian-pakaian yang baru dan yang terbaik milik kita, wangi-wangian dan segala bentuk assesoris untuk memperindah diri, sebagai wujud suka cita atas kemenangan yang telah kita raih. Namun demikian, satu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa perwujudan suka ria kita jangan berlebih-lebihan, karena itu adalah perbuatan syetan, juga jangan berlebih-lebihan, karena disana saudara-saudara kita masih banyak yang kekurangan, membutuhkan uluran tangan.
Hadirin jama’ah idul fitri yang dimuliakan Allah
Selama satu bulan penuh, kita telah menjalani pendidikan lahir batin, melalui kegiatan berpuasa, sholat tarawih, qiyamul lail, serta ibadah lain sesuai dengan kemauan dan kemampuan kita masing-masing. Tiada suatu pengharapan yang lain, kecuali mendapatkan ridlo dari Allah SWT. Karena jika telah mendapatkan ridlo-Nya, segala sesuatu akan menjadi urusan Allah. Segala dosa diampuni, segala kesalahan dihapuskan, semua dikabulkan, amal ibadah dilipatgandakan, serta apa yang kita butuhkan tersediakan. Itulah bagi orang yang melaksanakan kegiatan dibulan romadlon, hanya dikarenakan mencari ridlo Allah SWT.
Jama’ah Idul Fitri Yang di Muliakan AllahSeseorang yang melaksanakan ibadah di bulan ramadlan dengan tulus ikhlas, hanya karena Allah, serta menghindari segala sesuatu yang merusak puasa, maka pada hari ini, ia ibarat baru kembali dari asal kajadiannya. Ia ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, tiada noda dan tiada dosa yang menyelimutinya. Ia ibarat kertas putih, yang belum ada noda ataupun tulisan, atau gambaran apapun yang ada di dalamnya. Namun, ketika seseorang melaksanakan puasa yang tidak karena Allah, maka ia hanya akan mendapatkan haus dahaga dan lapar belaka. Dan segalanya seakan menjadi sia-sia.
Pada hari ini, kita telah memperoleh kemulyaan sebagai seorang yang bersih dan suci, tanpa dosa dan kesalahan, karena telah mendapatkan ampunan dari Allah, atas dosa dan kesalahan kepada Allah. Namun demikian, kebersihan dan kesucian tersebut belum sempurna sepenuhnya apabila kita masih mempunyai tanggungan dosa dan kesalahan terhadap sesama manusia, apabila kita belum memohon maaf dan ampunan kepada mereka, karena Allah hanya akan mengampuni dosa-dosa yang terjadi antara sesama manusia, hanya jika antara manusia itu sendiri sudah saling memaafkan dan mengikhaskan atas kesalahan dan dosanya.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Untuk membersihkan noda atas kesalahan dan dosa-dosa diantara sesama manusia, maka marilah kita saling maaf memaafkan antara orangtua dengan anak, saudara dengan saudara, tetangga dengan tetangga, murid dan gurunya, sahabat dengan sahabat, serta dengan semua manusia yang berhubungan dengan kita. Untuk itu, pada hari raya ini, marilah kita bersillaturrahim, guna untuk mempererat persaudaraan dan saling maaf memaafkan. Untuk membersihkan diri kita dari kesalahan dan dosa antara sesama manusia, juga untuk menyempurnakan kesucian dan kebersihan jiwa raga kita pada hari raya ini.
Jama’ah Idul Fitri Yang di Muliakan Allah
Untuk menyempurnakan kesucian dan kebersihan kita, marilah kita datangi kedua orang tua kita, saudara-saudara kita, tetangga-tetangga kita, serta guru-guru kita, para kyai serta para ulama untuk untuk meminta maaf dan keridloan mereka. Dan apabila mereka telah tiada, maka datangilah makam mereka untuk berdoa dan memohon maaf atas kesalan kita. Dengan demikian, maka akan sempurnalah kebahagiaan kita, akan kesucian dan kebersihan kita pada hari raya ini.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Pada Hari Raya Idul Fitri inilah, kita menghimbau kepada seluruh jamaah yang hadir dan kepada segenap umat Islam di mana pun berada. Ramadhan yang telah mengajarkan kepada kita untuk jujur, khusyu’ dan berjiwa besar, maka kita pun harus dapat menindak lanjuti hingga setelah Ramadhan meninggalkan kita.
Bila selama ini mungkin ada di antara kita yang masih menyimpan dendam, maka hendaklah ia dapat meluluhkannya. Serahkan sajalah segalanya kepada Allah. Sehingga meskipun kita telah disakiti orang, namun kita telah dapat memaafkannya. Dan bila kita telah saling mamaafkan, maka terasa-lah sebuah bangunan kekuatan umat yang utuh. Bila kita telah memaafkan salah seorang saudara kita, maka hadirlah rasa iba padanya, dan apabila ada yang menyakitinya, tentu kita akan membelanya. Demikianlah perintah Allah SWT kepada umat Islam. Yakni hendaklah umat Islam dapat menjadi sebuah bangunan yang kokoh. Persaudaraan di antara sesama mereka bagaikan sebuah tubuh yang apabila salah satu anggota tubuh ada yang disakiti, maka yang lain juga akan merasa sakit.
Selanjutnya, Allah dan Rasulullah juga memerintahkan kepada kita untuk menutupi aib saudaranya, agak kelak aib-aib kita pun akan ditutupi oleh Allah pada hari kiamat. Hendaknya kita melindungi saudara kita yang lebih lemah sehingga Allah akan melindungi kita kelak di akhirat. Bahkan Allah menjanjikan perlindungan kepada seseorang yang sedang berada di dalam perlindungan saudara muslimnya. Artinya perlindungan kita yang kuat kepada saudara-saudara yang lemah adalah laksana perlindungan Allah kepada hamba-Nya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ
“Siapa pun yang yang menutupi aib saudara muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya du dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah melindung mereka yang sedang melindungi saudara muslimnya.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Terkait dengan kemuliaan orang yang mampu membersihkan dan mensucikan dirinya , Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya, Surat Al-Fathir, ayat 18-21 :
وَمَنْ تَزَكَّى فَإنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإلَى اللهِ الْمَصِيْرُ (18) وَمَا يَسْتَوِيْ اْلأَعْمَى وَاْلبَصِيْرُ (19) وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّوْرُ (20) وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ اْلحَرُوْرُ (21).
“Barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri untuk memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tidak sama orang yang buta dengan orang yang melihat ? Bukankah pula tidak sama gelap-gulita dengan terang-benderang ? Dan bukankah juga tidak sama yang teduh dengan yang panas ?” (QS. al-Fathir : 18-21)
Pada ayat tersebut, Allah SWT membandingkan antara orang yang mampu mensucikan jiwanya dengan yang suka mengotorinya, laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci, manusia yang baik, manusia yang menang dan beruntung itu, adalah mereka yang mau dan mampu melihat persoalan lingkungannya secara bijak dan kemudian bersedia menyelesaikannya, mereka yang mampu menjadi lentera / penerang di kala gelap, dan menjadi payung untuk berteduh di kala panas. Mereka inilah pemilik agama yang benar, agama yang hanifiyyah wa al-samhah – terbuka, toleran, pemaaf, dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan anak keturunannya : Ismail, Ishaq, Ya’kub, Yusuf, dan Nabi Muhammad saw.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Ibadah puasa yang telah kita laksanakan, pada hakekatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah perilaku setiap Muslim, menjadi orang yang semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah puasa – sebagai manusia yang memiliki nafsu dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu- kita dilatih untuk mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan Fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah SWT. Melalui proses pencerahan yang terkandung dalam ibadah puasa diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang di mana pun kehadirannya, terutama dalam masyarakat yang bersifat heterogen / bermacam-macam ini dapat memberi manfaat kepada sesama.
Ajaran Islam sesungguhnya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tetapi ajarannya juga syarat dengan nilai-nilai yang bersifat universal/ menyeluruh. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator / tanda kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar kehadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah SAW bersabda :
عَن جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia (Muslim) adalah orang yang paling (banyak) memberi manfaat kepada manusia”. (HR. Al-Qudla’i)
الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد
Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan ini adalah, bahwa telah menjadi sunnatullaah / ketentuan Allah, bila kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering menyatakan, “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu lain tergilas di bawah.
Kemarin sebagai pejabat sekarang kembali menjadi rakyat, satu saat kaya, saat yang lain hidup sengsara, kemarin sehat bugar, saat ini berbaring sakit, bahkan mungkin tetangga kita, saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemarin masih melaksanakan shalat ‘id disamping kita, sekarang mereka, orang-orang yang kita cintai itu telah tiada dan kembali kehadirat-Allah SWT. Kehidupan dunia ini tidak ada yang kekal, ia akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah SWT, tuhan seru sekalian alam.
Sebagai orang mukmin, tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan-Nya akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini.
Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah / kasih sayang, menegakkan da’wah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji:
وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنُ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ .
Artinya : “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran : 140).
Abu Hamid bin Muhammad Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin melukiskan para penghuni kehidupan dunia ini laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk / kapal yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua kecemasan, antara mengingat perjalanan yang sudah di lewati dengan rintangan angin dan gelombang yang menerjang dan antara menatap sisa-sisa perjalanannya yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu dapat mencapai keselamatan.
Tamsil tentang kehidupan ini hendaknya mengingatkan, agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita miliki pasti masih akan tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam limbah kenistaan, kita pergunakan kesempatan dan sisa umur yang kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir ini untuk memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yang fana ini, maupun di alam akhirat yang kelal abadi.
Suatu saat Lukman Al Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan taushiyah kepada putranya:
يا بُنَيَّ ! إنَّ الدُنْيَا بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرَقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ ، فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوُهَا الإيْمَانُ وَشَرَاعُهَا التَّوَكَّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُوْ.
“Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh karenanya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau akan selamat sampai tujuan”.
الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Hadirin jama’ah Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Sebagai akhir dari khutbah ini, Kami mengajak kepada kaum muslimin muslimat, marilah hari raya idul fitri ini kita rayakan dengan amal-amal ibadah, dengan sillaturahim, sodaqoh, dan amal-amal lainnya. Yang secara prinsip, adalah kita merayakan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Dan janganlah sampai kita merayakan hari kemenangan ini, dengan kegiatan-kegiatan yang berbau maksiat dan dosa. Karena hal tersebut jelas-jelas merusak citra islam, merusak arti kemenangan dan kefitrahan, serta akan mendatangkan murka Allah SWT.
Disamping itu, kami juga berpesan marilah kita senantiasa berusaha untuk mempertahankan kemenangan dan kesucian yang telah kita raih, dengan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dengan berbekal dan bermodalkan pelatihan yang telah kita laksanakan selama 1 bulan penuh untuk 11 bulan yang akan datang. Karena perlu kita perhatikan dengan seksama, bahwa iblis laknatullah akan selalu mengintai kita, dan akan selelu berusaha menjerumuskan kita ke lembah kenistaan. Maka dari itu, marilah kita tetap waspada, serta senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ لَيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم
RENDAH HATI MENYAMBUT IDUL FITRI
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا , الْحَمْدُ للهِ الَّذِى سَهَّلَ لِـعِبَادِهِ الْعِبَادَةَ وَ يَسَّرَ , وَ وَفَّاهُمْ أُجُوْرَ أَعْمَالِهِمْ مِنْ خَزَآئِنِ جُوْدِهِ الَّذِى لَا تُحْصَرُ , وَجَعَلَ لَهُمْ يَوْمَ عِيْدٍ يَعُوْدُ عَلَيْهِمْ فِى كُلِّ سَنَةٍ وَ يَتَكَرَّرُ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلـهَ إِلَّااللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ الْمُلْكُ الْعَظِيْمُ الْأَكْبَرُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ الْمُشَفَّعُ فِى الْمَحْشَرِ , اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَ طَهَّرَ , وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا . أَمَّا بَعْدُ : فَـيَا عِبَادَ اللهِ , اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلَّاوَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ . وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ , وَأُولَئكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ . اِعْلَمُوْا أَنَّ هـذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ , يَوْمٌ بَعْدَ خُرُوْجِنَا مِنْ الشَّهْرِ الْكَرِيْمِ اِلَى يَوْمِ عِيْدٍ سَعِيْدٍ , يَوْمٌ تَجَلَّى الْبَوَاطِنُ بِـتَقْوَى اللهِ وَ تَخَلَّى الظَّوَاهِرُ عَنْ عَمَلِ مَا لَا يُفِيْدُ , يَوْمٌ تَجَلَّى الْحَـنَّانُ الْمَنَّانُ بِمَزِيْدِ الْإِحْسَانِ عَلَى مَنْ كَانَ ذَا فِعْلٍ حَمِيْدٍ .
Ma’asyiral Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya tak berbatas dan tak terbilang jumlahnya. Sehingga di suasana yang syahdu ini kita semua kaum muslimin dapat menghadiri perayaan kemenangan akbar dan sekaligus menunaikan ibadah yang sangat dianjurkan oleh agama kita melalui Nabi Mulia Muhammad SAW yaitu ibadah Shalat Iedul Fitri. Diiringi takbir, tahmid dan tahlil, kita berharap Allah menerima amalan-amalan kita terkhusus di bulan Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan. Amin yaa Robbal ‘Alamin.
Shalawat dan salam tidak terlupa kita lantunkan dengan sebanyak-banyaknya, dengan sekhidmat-khidmatnya, dengan setulus-tulusnya, teruntuk habiibillah Sang Kekasih Allah SWT, junjungan dan tauladan terindah kita, Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan shahabat-shahabatnya. Satu-satunya makhluk termulia di antara semua makhluk. Satu-satunya sosok teristimewa di antara hamba-hamba Allah yang teristimewa. Satu-satunya yang terpilih di antara hamba-hamba Allah yang terpilih. Bahkan, satu-satunya makhluk yang tanpanya tidak tercipta semua kehidupan di dunia, dan bahkan seluruh alam. Semoga kita akan mendapat syafaatnya di yaumil qiyamah nanti. Amin yaa robbal ‘aalamiin …
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Pada hari ini, di pagi yang penuh barokah ini, berbagai perasaan bergejolak di dalam setiap dada kaum muslimin. Mereka berangkat dari rumah masing-masing menuju masjid atau lapangan –sambil bertakbir mengagungkan nama Allah, bertahmid memuji-Nya dengan sebaik-baik pujian, dan bertahlil menanamkan sifat esa-Nya ke dalam relung hati yang terdalam– untuk melaksanakan salah satu ibadah yang disyari’atkan sekali dalam setahun, yaitu shalat Idul Fitri. Kita sebagai bagian dari mereka juga tidak ketinggalan. Rasa gembira dan bahagia begitu nampak dan ditampilkan dengan berbagai ekspresi. Sehingga kehadiran hari sarat makna ini menjadi semakin semarak. Ada yang mengenakan kopiah baru, sarung baru, sajadah baru. Baju koko yang biasanya lusuh, kini terlihat rapih dan bersih. Yang biasanya berangkat ke masjid tidak membawa surban, kini mengenakan surban yang diselempangkan dengan berbagai cara menurut kesenangan masing-masing. Anak-anak tampil dengan baju-baju yang lebih cerah dan bahkan baru, seiring senyum mereka yang juga seolah-olah baru.
Memang tidak dipersoalkan memakai pakaian baru selagi tidak termasuk dalam pemborosan dan berlebih-lebihan. Pakaian baru hanyalah simbol-lahiriah dari kebahagian yang dirasakan hati. Intinya adalah kualitas hati dimana iman dan taqwa berada. Iman dan taqwa juga harus meningkat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan.
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْد, وَلكِنَّ الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ .
“Iid bukanlah bagi orang yang mengenakan pakaian baru, tetapi Iid adalah bagi orang yang taqwanya bertambah”
Lebih dari itu, perasaan bahagia ini juga tampak karena kita telah diberikan kesempatan istimewa di bulan Ramadhana dan dapat merampungkan serentetan amaliyah ubudiyyah selama di bulan yang suci dan penuh berkah ini. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang di setiap harinya, bahkan di setiap saatnya mengalir rahmat Allah SWT, di setiap detiknya terdapat keberkahan-keberkahan atas setiap amal yang dikerjakan oleh para hamba. Siang ataupun malam, pagi ataupun sore, tercurah berlipat-lipat kebaikan yang tidak terdapat pada bulan-bulan sebelumnya. Pahala dilipat-gandakan, ditambah dengan satu malam teristimewa yakni malam al Qodr. Sekarang, kita telah dipertemukan dengan hari Raya Iedul Fitri, hari raya kemenangan kita kaum muslimin.
Seiring kegembiraan dan kebahagiaan tersebut, kita-pun merasakan kecemasan, jangan-jangan sebenarnya kita telah melewatkan saat-saat terbaik itu dengan kesia-siaan. Jangan-jangan kita telah mengabaikan kesempatan berharga di setiap detik-detik teristimewa untuk mendulang bertumpuk-tumpuk pahala dan ganjaran. Jangan-jangan kita telah melepaskan peluang terraihnya keridhoan Sang Maha Rahman karena kebodohan dan kelalaian. Belum lagi puasa kita yang tidak pernah sepi dari mencaci orang, lisan yang acap-kali terhias dengan tuak dan kebohongan, mata yang seringkali sengaja digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang. Padahal kita pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah haditsnya ;
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ .
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan buruk, maka Alloh tidak mempunyai keperluan lagi terhadap amalnya tidak makan dan tidak minumnya (puasanya)”.
Shalat kitapun tidak pernah penuh dengan keikhlasan dan kekhusyu’an, tilawah al-quran yang tidak pernah lepas dari kesalahan bacaan, shodaqoh yang senantiasa didampingi rasa riya’ dan diiringi kebanggaan, perut yang di saat berbuka seringkali terisi penuh dengan makanan dan minuman yang beraneka ragam, bahkan fikiran yang tidak jarang terselip berbagai macam keinginan-keinginan yang penuh dengan kemaksiatan dan kedurhakaan, fikiran yang kerap kali penuh dengan syahwat-syahwat atau keinginan-keinginan hawa nafsu duniawiyah.
Maka, sudah selayaknya kita bertanya dalam diri kita masing-masing, apakah kita telah lulus dalam tarbiyah Ramadhan kita kali ini? Apakah kita optimis dan yakin telah mendapatkan ampunan dari Allah setelah Ramadhan ini? Apakah kita optimis telah berhak terbebas dari siksa neraka setelah mengarungi bulan barokah ini? dan Apakah kita yakin telah terhitung sebagai orang-orang yang bertaqwa sehingga berhak mendapat piala “Iedul Fithri” pada pagi hari ini? Piala “Iedul Fitri” ibarat sebuah hadiah dari Allah SWT yang menjadi pertanda kembalinya sang pemenang kepada fithrah dan kebersihan dirinya, lahir dan batin. Sebuah piala yang menjadi ciri bahwa amal sholeh yang dikerjakan pemenangnya selama ini diterima oleh Allah SWT. Sebuah piala yang dengannya sang pemenang akan menapaki jalan hidup baru yang penuh dengan cahaya Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebuah piala yang dengannya, sang pemenang akan ringan melangkah dalam meninggikan kalimat Allah di jagad fana dan gersang ini.
Maka, pada saat ini-pun, kita bermuhasabah diri, koreksi dan instropeksi diri, lalu memohon ampunan dan keridhoaan-Nya. Sebab, secara nyata memang kita telah beramal, tapi Allah-lah yang memiliki hak untuk menilai kualitas amal tersebut, akan diterima atau tidak amalan kita. Jangan sampai kita berfikir bahwa semua amal kita pasti diterima oleh Alloh SWT, pasti tidak tertolak, pasti mendatangkan barokah dan pahala. Berfikirlah: yakin diterima oleh Allah SWT, yakin tidak tertolak, yakin mendatangkan barokah dan pahala. Optimis dalam beramal dan berdoa adalah keharusan, tetapi hak mutlak penerimaan amalan hamba adalah milik Allah SWT. Di antara tanda kesengsaraan seorang hamba termaktub dalam sebuah hadits, yaitu:
نِسْيَانُ الذُّنُوْبِ الْمَاضِيَةِ وَهِيَ عِنْدَ اللهِ مَحْفُوْظَةٌ, وَ ذِكْرُ الْحَسَنَاتِ الْمَاضِيَةِ وَ لَا يَدْرِى أَ قُبِلَتْ أَمْ رُدَّتْ
“Melupakan dosa di masa silam padahal dosa-dosa tersebut terjaga di sisi Allah SWT. Menyebut-nyebut atau mengingat-ingat kebaikan di masa lalu padahal ia tidak tahu apakah amal itu diterima atau ditolak.”
Kita berdo’a dan berharap kepada Allah agar kita yang hadir di majlis ini, dan saudara-saudara muslim kita yang ada di seluruh penjuru dunia ini, termasuk dalam kelompok yang memenangkan tarbiyyah dan ujian Ramadhan ini. Dan semoga kita diberikan kesempatan kembali oleh Allah SWT untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan yang akan datang dengan amalan yang lebih baik. Insya Allah, Amin yaa Robbal ‘Aalamiin…
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْد
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Setelah kita membersihkan hati kita dari penyakit-penyakitnya pada bulan Sya’ban yang telah lewat. Lalu pada bulan Ramadhan kemarin kita telah berusaha menerangai hati kita dengan cahaya iman dan amal sholeh. Maka pada hari ini, dengan rahmat Allah, insya Allah kita telah menjadi sosok-sosok baru dan bersih. Meskipun demikian, tentu saja hal ini tidak boleh menjadikan kita terlena dan merasa suci. Sejujurnya, meskipun kita telah berpuasa sebulan penuh di siang hari Ramadhan yang lalu, telah mengerjakan shalat Tarawih berjamaah di malamnya tanpa tertinggal semalampun, telah mengkhatamkan al-Quran, telah berinfak dan bershodaqoh di setiap malamnya. Dari hati dan sanubari yang paling dalam, kita harus mengakui bahwa kita masih bisa merasakan noda-noda dosa kita terhadap sesama kita. Noda dan kesalahan yang belum sempat kita pintakan “pintu maaf”nya kepada orang-orang di sekitar kita yang kita sakiti dan kita lukai hatinya, dan belum termaafkan.
Mungkin terhadap anak-anak mungil kita yang merupakan buah mata kesayangan kita. Keaktifannya justru sering kita fahami sebagai sebuah kenakalan, kreatifitasnya justru kita katakan sebagai sesuatu yang keterlaluan, daya eksploratif mereka malah kita sebut sebagai hal yang berlebihan dan keterlaluan. Sehingga kita berfikir mereka berhak mendapatkan sangsi dari kita. Sadar ataupun tidak, kemudian kita memberikan hukuman kepada mereka, dalam wujud dan bentuk yang beraneka macam. Suatu hukuman yang justru menjadi titik hitam dalam hati. Seiring dengan bertambahnya hukuman, titik itu semakin menebal dan terus menebal, dan kitalah yang justru membuatnya. Kita patut merenungkan, mungkin anak-anak kita belum tahu apa itu “kasih sayang?”.
Mereka hanya tahu bahwa mereka ingin selalu dekat di samping kita ayah ibu mereka, mereka hanya tahu kalau mereka hanya ingin dibelai saat mereka menangis, butuh hanya usapan lembut saat mereka mengalami sedih karena kehilangan mainan mereka, dan mereka merasa ingin diperhatikan atau disanjung terhadap apapun yang telah mereka kerjakan. Itulah cara mereka mengungkapkan rasa “kasih sayang’ mereka terhadap kita, meski mereka tidak tahu apa itu “kasih sayang”. Itulah cara mereka mengasihi kita sebagai sosok terdekat mereka.
Bagaimana dengan kita para orang tua? Bagaimana cara kita mengungkapkan rasa sayang terhadap mereka? Seringkali kita katakan bahwa hukuman itu adalah bentuk kasih sayang kita. Padahal mereka belum tentu tahu tentang apa itu “hukuman”? Bahkan mungkin mereka tidak mengerti kalau apa yang kita lakukan adalah sebuah “hukuman”. Mereka hanya bisa merasakan rasa sakit ketika dipukul sambil kebingungan dan menangis, “kenapa aku dimarahi?”, kenapa aku dipukul?”, “Kenapa ayah ibuku marah?”, Apakah aku tidak menyenangkan hati ayah ibuku?”. Meski menangis, tapi mereka tidak bisa lari. Bukannya mereka tidak bisa berlari karena kaki mereka lumpuh, tapi mereka memang tidak ingin lari, bahkan mereka justru ingin memeluk dan merangkul ayah bunda mereka.
Mereka mungkin berfikir, kalau mereka jauh dari ayah bunda mereka, siapa yang akan memeluk mereka dengan hangat? Siapa yang akan membelai mereka dengan lembut saat mereka sedih hati? Siapa yang akan melindungi mereka saat teman mereka nakal? Siapa yang akan membersihkan tubuh mereka ketika berlumuran lumpur? Siapa yang akan menyisiri rambut mereka setelah mandi? Mereka tidak akan pergi dari kita, sebab kita adalah sosok terdekat bagi mereka, yang paling mereka sayangi dan mereka rindukan. Ditinjau dari sudut manapun, kita harus akui bahwa masih ada di antara kita yang belum berlaku lembut terhadap anak-anak kita, kita belum santun dalam mensikapi prilaku mereka. Dan itu belum termaafkan. Bagaimana akan termaafkan jika kita tidak melisankan permintaan maaf kita? Ataukah kita masih ingin mempertahankan ego kita karena kita merasa lebih berusia dibandingkan mereka? Sehingga kita malu, enggan, dan gengsi untuk mengakui kekhilafan kita di hadapan mereka? Na’uudzu billah min dzalik…
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Suami atau istri kita, mereka juga merupakan sosok yang terdekat dengan kehidupan kita. Ia merupakan sosok yang bersedia mendampingi kita selama hidup, sampai ajal menjemput. Senang-susah, suka-duka, pahit-manis, lapang-sempit, dan berbagai situasi dan kondisi lain. Tapi sekali lagi harus kita akui, justru merekalah yang barangkali paling banyak kita sakiti dan kita lukai hatinya. Hak-hak mereka kerap kali kita kurangi, bahkan tidak kita berikan. Saling pengertian dan saling memahami untuk mengarungi kehidupan yang ia harapkan dapat bersama-sama dilakukan, justru kita yang lebih sering menuntutnya tanpa kita berusaha turut berusaha mewujudkannya.
Terhadap orang lain kita selalu menjaga tutur sapa kita, kita rela mengurangi hak kita, kita berusaha sekuat tenaga agar hubungan dan keakraban selalu terjaga hangat, segera meminta maaf jika kita melakukan kekhilafan, semua itu agar hubungan kita dengan teman kita tetap terjalin harmonis dan hangat. Sebaliknya, kita seringkali meremehkan terjaganya keharmonisan dan kehangatan pergaulan dalam rumah tangga kita. Kita begitu cuek setelah mencaci dan mengucapkan kata-kata pedas, begitu gampang menimpakan kesalahan, begitu ringan membebankan sesuatu yang kita tahu pasti berat untuk dia, begitu tak acuh saat ia mengeluh sakit. Jangankan mengelap badannya dengan air hangat suam-suam kuku –karena beberapa hari tidak bisa mandi sendiri, langkah masih tertatih-tatih-pun sudah kita sodorkan berbagai perintah dan keinginan. Ketika ditanya oleh tetangganya, apakah engkau menyayangi istrimu –atau suamimu? Dengan entengnya kita menjawab, “tentu saja, ia adalah belahan jiwaku, tidak bisa aku hidup tanpa dia”, dan jawaban-jawaban lainnya yang jika terdengar olehnya pasti akan menyesakkan dada. Mungkin ia hanya bisa berucap dengan suara lirih seiring tetesan air mata kesedihannya, “Mengapa engkau berkata begitu? Mengapa engkau mampu berbuat demikian? Apakah hanya kekurangan yang aku punya? Apakah tidak ada kebaikan sedikitpun dalam diriku?” Rintihan yang mungkin tidak pernah kita dengar, yang tidak pernah terasa oleh kita, sebab ia begitu pandai menutupi keadaan hatinya. Ia tetap tersenyum di hadapan teman dan rekan kita demi menjaga kehormatan dan harga diri kita dan keluarga. Bahkan terhadap kita sekalipun, ia tetap senyum.
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Ibu dan Ayah. Keduanya adalah orang tua yang melahirkan kita. Kewajiban berbakti dan berbuat baik terhadap mereka tersebutkan sangat jelas dalam al Qur’an. Allah berfirman dalam Surat Luqman ayat 14, yang artinya
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tanhun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu”. (QS. Luqman : 14).
Dalam surat al-Isro’ ayat 23 juga disebutkan :
“Dan Robbmu telah memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya “ah”, dan janganlah kamu menghardik mereka, dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia”. (QS : al Isro’ : 23)
Allah SWT menempatkan berbakti terhadap orang tua setelah larangan berbuat syirik atau menyekutukan Allah yang merupakan larangan terberat dan yang paling harus dijaga oleh seluruh ummat Islam. Ini menunjukkan bahwa berbakti terhadap orang tua merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Selalu berbuat baik terhadap keduanya adalah urusan yang paling utama. Menghormati keduanya merupakan harga mati bagi kita. Selalu tersenyum kepada keduanya dan selalu membuat mereka tersenyum adalah tugas utama. Bagaimanapun situasi dan kondisinya, kita wajib berbuat baik dan berprilaku mulia terhadap keduanya. Bahkan jika seandainya mereka kafir-pun, kita wajib berprilaku mulia terhadap mereka.
Ketika keduanya atau salah satu dari keduanya masih hidup, mereka adalah yang paling berhak untuk kita jaga silaturrahmi dengan keduanya. Berucap “ah” kepada keduanya atau salah satu dari keduanya sudah merupakan larangan, apalagi menghardik atau membentaknya. Jika keduanya telah meninggal dunia, kita mengutamakan tersambungnya silaturrahmi dengan orang-orang yang mereka sayangi semasa hidup mereka, kitapun wajib mendoakan keduanya sebab doa anak sholeh dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya di akherat kelak.
Peran dan jasa kedua ibu-bapak kita terhadap kita tidak akan pernah bisa terbalas, bagaimanapun upaya kita. Rasulullah SAW bersabda :
لَا يَجْزِىْ وَلَدٌ وَالِدً إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
“Seorang anak tidak akan mampu membalas jasa kedua orang tuanya, kecuali ia mendapatinya menjadi seorang budak lalu ia membelinya dan memerdekakannya”. (HR. Muslim).
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Marilah kita jenguk diri dan hati kita masing-masing, jenguk sedalam-dalamnya, renungkan apa yang telah dan sudah kita lakukan dan suguhkan untuk mereka. Apakah kita telah bisa membuat mereka nyaman dan aman? Atau justru mereka tidak aman di sisi kita? Apakah kita yang bekerja untuk mereka di usia senjanya atau justru sebaliknya mereka yang kita tuntut untuk mencukupi kita? Apakah kita yang meringankan beban mereka di usia senja ataukah kita yang justru membebani mereka?
Di antara kita mungkin ada yang mendapati ayah-ibu yang sudah dalam kondisi payah, berusia lanjut dan tak berdaya, atau mungkin hanya tinggal ayah saja, atau mungkin hanya tinggal ibu saja. Ketahuilah, mereka berdua semasa hidup telah mengikat janji untuk bersama dalam suka maupun duka. Mereka berikrar untuk membuat sejarah mereka berdua dengan bersama-sama. Maka jika sekarang hanya tinggal hanya seorang karena ajal menjemput kekasih hatinya, maka ia tetap menyimpan ingatan dan kenangannya dengan sang kekasih hatinya. Tegakah kita membiarkan ayah atau ibu kita berteman dan bercakap-cakap hanya dengan sebuah kenangan, karena kita abaikan? Tegakah kita membiarkan ia berlinang air mata sedih saat mengadu kepada sebuah kenangan, karena kita tidak perhatian dan tidak bisa menjadi tempat pengaduannya? Tegakah kita menyaksikan ayah atau ibu kita berbaring di tempat tidur tanpa bisa memejamkan mata sedikitpun, sebab tidak kerasan bersama kita dan ingin segera bersama sang kekasih yang telah tiada?
Tentu saja kita tidak akan tega. Sebagai muslim dan anak sholeh dan sholehah, kita tentu tidak akan tega membalas air susu ibu dan darah ayah kita dengan derita batin di ujung hayatnya. Cobalah kita perhatikan, sehatnya badan telah terkalahkan oleh usia. Tenaganya telah terkuras setelah sekian lama berjuang menahan tempaan beban hidup di dunia. Nafasnya menjadi sangat pendek bahkan sering tersengal-sengal –meski baru berjalan beberapa langkah– sebab tidak mampu lagi berlomba dengan waktu. Otot tubuh semakin memendek dan menciut sebab kuatnya gesekan cuaca. Langkahnya tertatih-tatih sebab tulang-tulang telah keropos dan tidak mampu lagi menerima asupan nutrisi dan vitamin. Pandangan mata telah menjadi sangat pendek dan samar, sehingga kaki sering tersandung, kepala sering tertatap tembok. Bahkan ketika rindu ingin melihat wajah kita dan wajah anak kita –cucu-cucu yang tentu sangat mereka kasihi– tidak jarang mereka harus kerahkan semangat dan tenaga yang semakin melemah hanya untuk mengangkat tangan dan meraba wajah kita dan anak kita, agar wajah anak dan cucu tercintanya tidak hilang dari ingatannya yang semakin kabur.
Kondisi mereka yang dulu tangkas dan gesit, kini telah renta dan tertimpa kepikunan, seiring bertambahnya usia. Hal ini menjadikan banyak hal tidak sesuai dengan harapan, baik harapan kita ataupun harapan mereka sendiri. Mereka ingin membantu mengangkat piring misalnya, justru memecahkannya. Mereka ingin membantu membersihkan lantai, justru menambah kotor. Ingin membersihkan baju sendiri karena kita repot, justru bertambah kotornya. Dan banyak prilaku-prilaku yang berubah seiring kepikunan yang mereka alami. Mereka tidak ingin tertimpa keadaan demikian, tapi apa daya mereka terhadap efek berjalannya usia yang tidak mau berhenti? Jika dulu mereka yang memaklumi kekhilafan-kekhilafan kita, apakah kita tidak mau bijaksana memaklumi mereka? Jika mereka memecahkan piring yang terjatuh dari tangannya tanpa sengaja, apakah kita akan menghitungnya sebagai sebuah kesalahan? Apakah jika mereka menghabiskan air bak mandi karena bergembira bermain air, kita akan katakan sebagai hal yang keterlaluan? Lalu apakah mereka tidak berhak mendapatkan rasa maklum kita sebab kita yang kini menanggung biaya hidup mereka? Na’udzu billahi min dzalik.
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Mereka –anak-anak kita, suami atau istri kita, ayah ibu kita– adalah orang-orang yang kita sayangi dan kita cintai. Mereka adalah orang-orang terdekat dalam kehidupan kita, maka merekalah sosok-sosok yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dan sikap santun kita. Merekalah yang paling berhak untuk kita muliakan. Merekalah yang paling berhak untuk kita dampingi sepanjang hidup dengan seluruh kemampuan kita. Maka sudah seharusnya kita berusaha mencari cara terbaik untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayang kita dengan sebaik-baik cara, sesuai dengan harapan dan dambaaan mereka. Jika mereka pernah mempunyai kekhilafan, demikian juga kita yang tentu tidak luput dari noda. Atau barangkali justru kitalah yang lebih berdosa dari mereka.
Ayah atau Ibu kita sebab telah lanjut usia, tanpa sengaja melakukan kesalahan. Dan ketika mereka menyadarinya, terlihat ekspresi rasa bersalah pada mereka. Tidak jarang tanpa menghiraukan usia yang jauh lebih tua, mereka seringkali mengalah dan tanpa segan meminta ikhlash atas kekurangan mereka. Pada kenyataannya, seringkali kita justru merasa sulit untuk memaafkan sebab selalu teringat kekhilafan-kekhilafan mereka. Jangankan meminta maaf, memaafkan-pun terasa berat dan sulit. Padahal Nabi Muhammad SAW telah bersabda :
«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. وَمَا زَادَ اللّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللّهُ».
Harta tidak akan berkurang karena sedekah, dan Allah tidak akan menambahkan kepada hamba-Nya yang pemaaf kecuali kemuliaan. Dan tidak seorang pun yang merendahkan dirinya untuk Allah kecuali Allah akan memuliakannya. (HR. Muslim)
Memang memaafkan lebih terasa berat sebab kita yang merasa terdholimi atau tersakiti. Sedangkan meminta maaf dinilai lebih ringan sebab kita yang mendzolimi atau menyakiti, bukan pada posisi yang dirugikan. Alloh SWT akan membuka banyak sekali pintu-pintu kemuliaan dan keberkahan bagi siapa saja yang mau memaafkan kasalahan saudaranya, terlebih kesalahan ayah dan ibunya yang termakan penyakit pikun dan renta. Senyum selalu akan mewarnai hidup mereka dan tentu saja hidup kita juga. Senyum kita adalah senyum mereka dan senyum mereka juga senyum kita. Senyum dari hati yang paling dalam. Senyum yang bisa menciptakan harapan hidup panjang yang berbahagia. Senyum yang dapat memberikan keyakinan akan kebahagiaan setelah kematian menjemput. Senyum yang mampu menjadi oleh-oleh bagi kita dan mereka ketika rumah telah berganti kubur, ketika kasur telah berganti dengan sebuah lubang yang berlumpur.
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر و للهِ الْحَــمْدُ
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Marilah kita belajar rendah hati. Sebab rendah hati atau tawadhu’ merupakan amalan hati yang terpuji dan mulia yang dapat membimbing gengsi kita, mengarahkan egoism kita agar tidak merasa berat untuk memaafkan kekhilafan orang lain dan meminta maaf kepada suami atau istri kita, anak-anak kita, orang tua kita dan kepada sahabat-sahabat yang selama ini bersama kita. Rendah hati akan menghilangkan kesombongan diri yang sadar atau tanpa sadar dengannya kita meremehkan orang-orang di sekitar kita. Rendah hati akan menghilangkan ketakabburan kita yang tanpa sadar dengannya kita enggan menerima hal-hal yang kita tahu adalah benar.
Rendah hati akan menambah nilai ibadah kita, sebab rendah hati akan membimbing kepada keikhlasan dalam beramal. Kualitas amal akan tetap terjaga sebab dengan rendah hati kita tidak akan mengungkit amal baik yang kita lakukan dan tidak menggunjing amal buruk orang lain. Rendah hati akan menjadikan kita merasa hina di hadapan Alloh sehingga kualitas ibadah selalu kita tingkatkan. Rendah hati akan memunculkan rasa hangat dalam berhubungan dengan sekitar kita, sebab setiap orang menyukai orang yang rendah hati. Rendah hati akan menimbulkan rasa lapang dada ketika melihat celaan orang lain, sekaligus dengan mudah dapat memaafkan. Rendah hati menjadikan kita lembut akhlaq dan halus tutur kata, meski dicela oleh orang lain. Dan dengan rendah hati, celaan akan berubah menjadi sanjungan dan rasa hormat dari orang lain, tanpa ketakabburan dan kesombongan.
وَعِبَادُ الرَّحْمَـنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الجَاهِلُونَ قَالُواْ سَلاَماً
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (Q, s. al-Furqān /25:63)
Ma’asyirol Muslimin, Jama’ah Shalat Idul Fitri yang dirahmati Allah …
Sebagai penutup khutbah ini, dengan memanfaatkan saat yang mulia ini, –disertai dengan kerendahan hati — marilah kita buat sejarah baru dalam diri kita masing-masing. Marilah kita rubah pola fikir kita yang egois, untuk mengucapkan kata maaf kepada anak-anak kita, suami atau istri kita, ayah dan ibu kita, serta rekan-rekan kita sesama muslim. Untuk meminta keikhlasan atas setiap khilaf yang kita perbuat. Marilah kita buka hati untuk menerima permintaan maaf anak-anak kita, suami atau istri kita, orang tua kita dan teman-teman kita. Marilah kita buka tangan-tangan kita untuk ber-mushofahah atau saling berjabat tangan. Semoga Alloh mengucurkan rahmat-Nya seiring mengucurnya dosa-dosa kita dari ujung jari-jemari kita semua.
Semoga Allah mengampuni dosa dan noda kita seiring kata maaf yang kita terima dari orang-orang terdekat dan sahabat-sahabat kita. Semoga mulai hari ini, senyum akan senantiasa menghiasi bibir kita dari hati yang paling dalam, dimanapun kita, bersama siapapun kita. Allah Robbul ‘Aalamiin berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَآئِدِيْنَ الْفَآئِزِيْنَ الْآمِنِيْنَ, وَأَدْخَلَنَا وَإيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ الْمُتَّـقِيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ الْمُوْقِنِيْنَ.وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
MENGINGAT KEMATIAN
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ. أَشْهَدُ لآ إِلـٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللّـٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّابَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَّلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
Ma’asyiral Muslimin rakhimakumullah !
Tiada prilaku yang paling indah, yang tercermin dari pribadi seorang muslim, selain tingkah laku yang diwarnai dengan ketakwaan. Maka dari itu, mulai sekarang marilah kita tingkatkan ketakwaan kita, yakni takwa yang sebenar-benarnya, hingga dari dalam diri kita akan nampak ketakawaan lahir dan ketakwaan batin. Dan ketakwaan seperti itu hanya bisa dilakukan dengan menjalankan perintah-perintahNya dengan ikhlas didasari oleh keimanan dan keyakinan akan keridhaan dan pahalaNya. Juga meninggalkan larangan-larangaNya, karena sebenarnya larangan-laranganNya itu mengandung beberapa akibat yang buruk jika kita tetap melanggarnya. Jika saja kita menyadari, sesungguhnya laranganNya tersebut adalah sebagai tanda dari kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya.
Ahli Jum’ah yang dimuliakan Allah !
Saat ini kita berada di penghujung tahun Hijriah. Yakni bulan Dzulqa’dah yang mulia. Pada bulan ini, marilah kita mencoba mengingat-ingat lagi, mengoreksi diri lagi, apakah sepanjang bulan-bulan yang telah kita lewati bersama pada saat yang lalu, kita telah melakukan perbaikan-perbaikan?. Ingat ! bahwa tak lama lagi, tahun baru Hijriyah akan menjelang. Karena setelah bulan ini, kemudian bulan depan datang musim haji yang menandai datangnya bulan Dzulhijjah dan setelah itu tibalah tahun baru Hijriyah, yakni tanggal 1 Muharram.
Apakah dibulan yang mulia ini sudah kita isi dengan renungan yang membawa manfa’at?. Sudahkan kita mengisinya dengan berbagai kegiatan ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya atau belum, atau mungkin sebaliknya, kita malah menggunakan kesempatan hidup yang sebentar ini untuk menumpuk-num puk dosa dan kesalahan.
Sebelum terlambat marilah kita memulainya. Kemudian, jika kita telah banyak berbuat kebajikan, maka marilah kita tingkatkan, mumpung kita masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Bagi yang banyak melakukan kemaksiatan, sadar dan hentikanlah kemaksiatan itu sekarang juga, karena ajal akan datang kepada kita tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, tidak pandang tua atau masih muda, jika Allah telah menentukan maka ajal itu akan menjemput kita.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka tatkala ajal mereka telah tiba, tidak dapat diundur dan dimajukan sedikitpun”. (QS. Al-A’raf : 34)
Ahli Jum’ah yang berbahagia !
Ayat di atas sangat pantas menjadi bahan tafakkur bagi kita semua. Yakni tentang ajal yang tidak bisa ditunda-tunda datangnya. Jika telah datang ketetapan ajal, tiada satupun kekuatan yang bisa menundanya, apalagi menghentikannya, sekejappun!. Dengan demikian, mengapa kita masih santai, berleha-leha tidak ada persiapan sedikitpun untuk menyambutnya?. Janganlah kita mengira bahwa kita akan berumur panjang. Karena umur merupakan misteri Illahy yang pengetahuannya hanya ada padaNya. Tak seorangpun yang mampu meraba panjang pendeknya umur seseorang. Oleh sebab itulah kita harus siap mulai sekarang, jangan sampai terjadi, ketika dijemput ajal, diri kita masih berlumuran lumpur dosa.
Di bulan Dzulqa’dah yang mulia ini, marilah kita memulai un tuk banyak mengerjakan amal kebajikan, sehingga diakhir hayat nanti, saat ajal datang menjemput, kita akan menjadi orang yang beruntung yang akan diberikan pahala yang besar yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang mu’min yaitu surga.
Sebaliknya, orang-orang yang banyak melakukan dosa dan tidak segera bertaubat, kemudian secara tiba-tiba ajal menjemputnya, maka penyesalan yang tak berujunglah yang senantiasa menghantuinya. Dan balasan yang setimpal dengan kemaksiatan dan dosa yang pernah dilakukannya dahulu ketika hidup di dunia.
Allah membalas setiap amal perbuatan seseorang, jika amal perbuatannya baik, maka akan dibalas dengan kebaikan pula meskipun perbuatan baik itu hanya sekecil dzarrah, bahkan Allah akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda jika Dia menghendaki.
Dan Allahpun akan membalas amal perbuatan seseorang yang jelek dengan balasan yang jelek pula, meskipun kejelekannya itu hanya sekecil dzarrah.
Demikianlah keadilan Allah bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an suratAl-Zalzalah ayat 7 dan 8, yang artinya; “Barangsiapa yang beramal kebajikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat Dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)Nya”.
Ahli Jum’ah yang dirahmati Allah !
Dengan demikian, apapun yang kita perbuat, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, semua harus dipertanggung jawabkannya di hadapan Allah SWT bisa saja apa yang kita perbuat, baik menurut pandangan mata manusia, tetapi sebaliknya, buruk bagi Allah disebabkan niatnya, yaitu niat karena ingin mendapatkan pujian dari manusia atau dengan niat untuk mencari keuntungan dunia, bukan demi mencari keridhaanNya dan pahala akhirat.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits yang artinya : “Kesukaan dipuji dari manusia itu adalah membutakan hati dan menulikan telinga”.
Yaitu tidak mau mendengarkan kebenaran dan menolak saran dan ajakan yang baik. Maka konsekwensinya adalah dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu di hadapan Allah besok pada hari akhirat. Oleh sebab itu, kita harus pandai memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan Allah ini untuk mengumpulkan banyak amal shaleh.
Imam Ahmad, Imam Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Sebaik-baik manusia yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan paling jelek amal perbuatannya”.
Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah !
Oleh karena itu, jika kita ingin menjadi manusia yang baik, maka kita harus lah pandai-pandai untuk memanfaatkan umur ini, karena umur ini juga merupakan amanat Allah yang diberikan kepada kita yang harus kita pertanggung jawabkan nanti di akhirat.
Jika umur itu kita gunakan untuk mengumpulkan amal kebaikan, maka kita akan diberi anugerah oleh Allah SWT berupa surga yang penuh dengan kenikmatan dan kita kekal di dalamnya.
Sebaliknya jika kita gunakan umur kita hanya untuk menumpuk-numpuk kejelekan dan maksiat kepada Allah, apalagi kita kufur kepadaNya, maka sudah tentu kita akan diberi hukuman karena kita tidak dapat memegang amanat dengan baik. Oleh sebab itu, marilah kita kembali mengkoreksi diri kita masing-masing, sudah siapkah kita dengan amal perbuatan yang telah kita kerjakan untuk menghadapi maut?.
Janganlah kita membohongi hati nurani kita sendiri, jika suatu saat dihadapkan kepada suatu pertanyaan tentang kesiapan mental kita untuk menghadapi maut, saya yakin semua orang akan menjawab belum siap. Karena pada dasarnya, melalui hati nurani, kita tidaklah mampu membohongi hati nurani kita sendiri, bahwa memang kita belum mampu berbuat banyak dalam hal kebaikan. Lepas dari itu, kita juga tidak mengetahui apakah kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan, sudah pasti diterima oleh Allah?. Sementara dosa-dosa yang kita lakukan terus saja menggunung. Dan sudah ikhlaskah kita dalam mengerjakan suatu perbuatan baik?.
Ahli Jum’ah yang dicintai Allah…….
Sudahkah kita mengoreksi semua itu?. Jangan sampai terjadi, kita enak-enakan melakukan kemaksiatan, sementara ajal terus-menerus mengintai kita. Oleh sebab itu, marilah kita perbaharui diri kita. Kita pacu diri kita untuk mengerjakan kebaikan dengan dasar iman dan taqwa serta keikhlasan hanya untuk mendapatkan keridhaan-Nya.
Jika kita sudah banyak mengerjakan kejelekan dan kemak siatan, maka marilah kita hentikan, kita sesali, dan kita harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi, serta mengerjakan banyak kebaikan untuk menutupi kejelekan kita, kita bertaubat kepada Allah mudah-mudahan Dia berkenan untuk mengampuni kita semuanya. Amin Yaa Rabbal Alamin……….
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى الْقُرْءَانِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
KHUTBAH JUM’AT KEDUA
اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ
اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. في ِالْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ
اَللّهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِالرَّاشِدِيْنَ سَيّدِنَا اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ سَائِرِاَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَاوَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّاالْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ. وَسُوْءَالْفِتَنِ مَاظَهَرَمِنْهَا وَمَابَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَاخَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِالْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَالله اِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمِ يذكركم وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ
KHUTBAH JUM’AT KEDUA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ
اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
KHUTBAH JUM’AT KEDUA
اَلْحَمْدُ ِللهِ, اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي خَلَقَ اْلأَشْيَآءَ * أَحْمَـدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدَ مَنْ عُفِيَ مِنَ الْبَلاَءِ * أَشْهَدُ أَنْ لآ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لآ شَـرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِيْ قَائِلَهَـا يَوْمَ الْجَـزَاءِ* وَأَشْـهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَتْقَى اْلأَتْقِيآءِ* أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الرُّسُلِ وَاْلأَنْبِيآءِ * وَعَلَى آلِهِ الْكَرَمآءِ * وَأَصْحَابِهِ اْْلأَصْفِيآءِ* وَمَنْ تُبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ اللِّقَاء ِ* أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَأَشْـكُرُوْهُ عَلَى تَوَالِي النَّعَمآءِ
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَمَرَكُمْ أَمْرًا عَمِيْمًا * فَقَالَ جَلَّ جَلاَلُهُ : إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ* يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا * اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ* وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ * وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ * وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ * اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ * وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ * إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُّجِيْبُ الدَّعَوَاتِ * اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَئِمَتَنَا وَأُمَّتَنَا* وَقُضَاتَنَا وَعُلَمَاءَنَا وَفُقَهَاءَنَا* وَمَشَايِخَنَا صَلاَحًا تَامًّا عَامًّا وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ * اَللَّهُمَّ اْنصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ * وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ * أَللَّهُمَّ أَهْلِكْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ * وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ * وَفُكَّ أَسْرَ الْمَأْسُوْرِيْنَ * وَفَرِّجْ عَنِ الْمَكْرُوْبِيْنَ * وَاقْـضِ الدَّيْنَ عَلَى الْمَدْيُوْنِيـْنَ *
وَاكْتُبِ اللَّهُمَّ السَّلاَمَةَ عَلَيْنَا * وَعَلَى الْغُزَّاةِ وَالْمُجَاهِدِيْنَ وَالْمُسَافِرِيْنَ * إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ * اَللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ * وَالْبَلاَءَ وَالْوَبَاءَ* وَاْلفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَة * وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ * مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ * مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً * وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً * إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ * رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بالإِيـْمَانِ* وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْم
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ * وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ*
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق