BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pergerakan
nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti
Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam dan Partai Komunis
Indonesia tumbuh dengan cepat di pertengahan abad ke-20. Budi Utomo, Sarekat
Islam dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan
mengirim wakil mereka ke Volksraad (dewan rakyat) dengan harapan Indonesia akan
diberikan hak memerintah diri sendiri tanpa campur tangan Kerajaan Belanda.
Sedangkan gerakan nasionalis lainnya memilih cara nonkooperatif dengan menuntut
kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda. Pemimpin gerakan
nonkooperatif ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang mahasiswa
nasionalis yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama. Pergerakan
ini dimudahkan dengan adanya kebijakan Politik Etisyang dijalankan oleh
Belanda.
Pendudukan
Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia Kedua
merupakan faktor penting untuk revolusi berikutnya. Belanda hanya memiliki
sedikit kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di Hindia Belanda. Hanya
dalam waktu tiga bulan, Jepang berhasil menguasai Sumatera. Jepang kemudian
berusaha untuk mengambil hati kaum nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan
untuk Indonesia dan mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik.
Ini menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri.
Ketika
Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali untuk merebut kembali
bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki
Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tidak menetapkan
tanggal resmi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Revolusi Nasional Indonesia
Revolusi
Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara
Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh
pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan
kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949. Meskipun
demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat
ini diperingati sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.
Selama
sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis.
Selain itu terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional.
Dalam peristiwa ini pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di
pulau Jawa dan Sumatera, namun gagal mengambil alih kendali di desa dan daerah
pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik,
Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Revolusi
ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan
perubahan struktur sosial di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai
dikurangi atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi
sosial", yang terjadi di beberapa bagian di pulau Sumatera.
B.
Proklamasi Kemerdekaan
1.
Proklamasi dan pembentukan pemerintahan
PROKLAMASI
Kami bangsa
Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal - hal jang
mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara
saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari
17 boelan 8 tahoen '45
Atas nama
bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Pada akhir bulan Agustus 1945,
pemerintahan republikan telah berdiri di Jakarta. Kabinet Presidensialdibentuk,
dengan Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Hingga pemilihan umum digelar, Komite
Nasional Indonesia Pusat dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak hampir
sebagai badan legislatif. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan
kabupaten. Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa
raja menyatakan menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya
belum menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah
didukung oleh pemerintah Belanda.
Khawatir Belanda akan berusaha
merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang baru dibentuk tersebut
dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih
sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat
sedikit. Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri
pertamamengetuai kabinet Sjahrir I.
Beberapa minggu setelah Jepang
menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur komando
dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan republikan yang
mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa kelompok-kelompok
kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh seorang
pemimpin karismatik. Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah
pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu. Dalam masa awal pembentukan struktur
militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat pangkat yang lebih
tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945,
dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi militer di Yogyakarta
seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman terpilih menjadi
panglima Tentara Keamanan Rakyat, bergelar "Panglima Besar".
2.
Euforia revolusi
Sebelum berita tentang, proklamasi
kemerdekaan Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia
yang jauh dari ibu kota Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai menyebar,
banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai
pro-republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Kekuatan luar di
dalam negeri telah menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke
Indonesia, dan Belanda telah mulai melemah kekuatannya dikarenakan perang.
Disisi lain, pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan
meletakkan senjata, da juga menjaga ketertiban umum.
Kevakuman kekuasaan selama
berminggu-minggu setelah Jepang menyerah menciptakan suasana ketidakpastian di
dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi
rakyat. Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan
pro-republik dan laskar-laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara
lain kelompok PETA dan Heiho yang dibentuk oleh Jepang. Namun pada saat itu
laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi perjuangan cukup kacau.
Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri dari daerah perkotaan
untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.
Pada bulan September 1945,
pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil alih kendali
atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di
kota-kota besar di Jawa. Untuk menyebarkan pesan-peasn revolusioner, para
pemuda mendirikan stasiun radio dan koran, serta grafiti yang penuh dengan
sentimen nasionalis. Di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite
perjuangan dan laskar-laskar milisi dibentuk. Koran kaum republik dan
jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta, yang
betujuan memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.
Para pemimpin republik berjuang
untuk menyatukan sentimen yang menyebar di masyarakat, karena ada beberapa
kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan yang lain lebih memilih
menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka dan
pemimpin kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin oleh
para pemuda. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan
sebuah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai kemerdekaan
melalui diplomasi. Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di di kota-kota
besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih dari
200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.
Pada September 1945, banyak pemuda
Indonesia yang menyatakan diri "siap mati untuk kemerdekaan 100%"
karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada saat itu, penculikan kaum
"nonpribumi" - interniran Belanda, orang-orang Eurasia, Maluku dan
Tionghoa - sangat umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata.
Kekerasan menyebar dari seluruh negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta
terus menyerukan kepada para pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang
mendukung perjuangan bersenjata memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para
"pengkhianat revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan
meletusnya konflik internal di kalangan masyarakat sipil.
C.
Tindakan Sekutu
Pihak
Belanda menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan mencela
bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang. Pemerintahan
Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika Serikat untuk
mendanai usaha pengembalian Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.
1.
Pendudukan kembali
Meskipun begitu, situasi Belanda
pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa
mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya
enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia. Sementara Amerika
Serikat sedang fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di
bawah kendali seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana
Earl Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara.
Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di
Irian Jaya; para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah tersebut.
Di area yang dikuasa angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan Sekutu segera
saja menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara Australia (diikuti
pasukan Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan cepat menguasai
daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali Bali dan Lombok. Karena
tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara Australia dengan mudah
menguasai beberapa daerah di bagian Timur Indonesia.
Inggris ditugaskan untuk mengatur
kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda mengambil kesempatan ini
untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim
kedaulatan atas Indonesia. Meskipun begitu, tentara Persemakmuranbelum mendarat
di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten adalah
pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Ia tidak
ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangakan pengembalian Indonesia pada
Belanda. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang,
Semarang dan Surabaya pada bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan
dengan orang-orang Indonesia, komandan pasukan Inggris Letjen Sir Philip
Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke Indonesia Timur,
dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus. Tensi memuncak saat
tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatera; bentrokan pecah antara kaum
republikan melawan para "musuh negara", seperti tawanan Belanda,
KNIL, orang Tionghoa, orang-orang Indodan warga sipil Jepang.
D.
Perjuangan Militer Dan Diplomasi
1.
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda
melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi
Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan
wakil-wakil republik itu.
Konferensi antara dua belah pihak
diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang
komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat
Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri,
dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya
sebagai berikut:
a.
Belanda
mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de
factopaling lambat 1 Januari 1949,
b.
Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya
adalah Republik Indonesia
c.
Republik
Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya
akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri
dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen
lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan
kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan
masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri
sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan
ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta,
dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15
November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi
Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang
memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan
dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
2.
Agresi Militer Belanda I
Pada tengah malam 20 Juli 1947,
Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai Agresi Militer
Belanda I (Operatie Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan
republikan. Aksi militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah
belanda sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan hukum. Pasukan
Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatera serta Jawa Barat dan
Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke Yogyakarta. Pasukan
Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatera, instalasi minyak dan batu bara,
serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.
Negara-negara lain bereaksi negatif
terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat
segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda
diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif
dengan membentuk Komisi Tiga Negara untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian
mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata. Pada saat aksi militer ini
terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan Belanda membantai banyak warga
sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang, Jawa Barat.
E.
Kekacauan Internal
Beberapa
kekacauan internal terjadi di pihak Indonesia selama terjadinya revolusi,
antara lain:
1.
Revolusi sosial
"Revolusi sosial" yang
terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia
yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga
merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di
seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat dan kepala
daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas
nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan
dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.
Kultur kekerasan dalam konflik yang
dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda seringkali terulang
di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk
aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat
altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas
dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari
sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan
tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja,
bupati, atau kadang sekadar orang-orang kaya, seringkali menjadi sasaran
penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi
senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatera dan
Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang
mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan
Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan
Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan daerah kekuasaan
kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke tangan Belanda.
Kebanyakan orang Indonesia pada masa
ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada
populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di bawah
kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe
mati!" seringkali menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di
daerah kekuasaan Republik. Para pedagang seringkali mengalami situasi sulit
ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk memboikot semua
ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga tidak mengenal
ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak Republik.
Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan
dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut
kebijakan proaktif dari para pemimpin, seringkali berakhir tidak hanya menjadi
tuntutan atas komoditas gratis, tetapi juga perampokan dan pemerasan. Pedagang
Tionghoa, khususnya, seringkali diminta untuk memberikan harga murah dengan
ancaman pembunuhan.
2.
Pemberontakan Komunis
a.
Peristiwa Madiun.
Pada 18 September 1948 Republik
Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun, oleh anggota PKI yang berniat
menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Soekarno Hatta, yang
dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI dan PKI ini, tetap dimenangkan
pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo,
Gubernur Jawa Timur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin
relijius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan
konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika
yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme,
menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia
mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era
perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.
3.
Pemberontakan Darul Islam
Pemerintah berencana membubarkan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke
masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu ditolak karena banyak
di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah
mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan
Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan
dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar
mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai
bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.
Awalnya TNI tidak merespon karena
sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun setelah seluruh teritori
kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai
menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi
lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil
dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar
tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.
F.
Dampak
Walaupun
tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk
Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia. Perkiraan yang
meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia berkisar dari 45.000
sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam kisaran
25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris
yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatera antara
tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda
lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak
lagi tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal
dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang
gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat
Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang Tionghoa dan masyarakat asing lainnya di
bunuh atau terpaksa kehilangan tempat tinggalnya di Indonesia, walaupun dalam
kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia mendukung gerakan
revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu, lebih dari tujuh
juta jiwa mengungsi di Sumatera dan Jawa.
Gerakan
revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi,
sosial dan budaya Indonesia itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan,
dan bahan bakar. Ada dua efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan
nasional Indonesia yang berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan
Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan
setelah Perang Dunia II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia
mengatur kembali setiap hal yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya
diblokade oleh Belanda.
DAFTAR
PUSTAKA
Wikipedia, Revolusi Nasional Indonesia, (https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Nasional_Indonesia).
diakses pada 31 Oktober 2018
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق