BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata psikologi berassal dari bahasa Yunani yaitu, dari kata ‘’Psyche’’ dan ‘’Logos’’. Psyche artinya jiwa dan Logos berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Kemudian Pendidikan pada sistem pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan dan peranannya di masa yang akan datang. Sehingga psikologi pendidikan merupakan suatu ilmu yang menghubungkan antara dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan pendidikan, dan terutama menekankan pada penggunaan metode-metode psikologi dalam proses belajar mengajar.
Dalam bahasa sederhana Psikologi Pendidikan mempunyai arti ilmu yang membahas atau mengkaji sisi-sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Psikologi juga diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Dalam hal ini kita lebih tertarik membahas teori-teori pembelajaran dalam psikologi khususnya teori pembelajaran stimulus dan respon.
Dari tujuan utama teori psikolinguistik yaitu mencari satu teori yang secara bahasa bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan cara perolehannya. Oleh karena itu, teori pembelajaran stimulus dan respon ini termasuk kedalam pembahasan psikolinguistik karena membahas mengenai cara perolehan bahasa yaitu rangsangan dan bagaimana respon yang dihasilkan. Ini sangat menarik untuk membahas dan mengkaji teori stimulus dan respon.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan makalah ini yaitu untuk memberikan pengetahuan yang lebih terhadap pembaca. Pengetahuan tersebut mengenai teori-teori dalam pembelajaran psikologi khususnya teori stimulus dan respon.
C. Manfaat
Manfaat dari pembahasan materi ini adalah kita dapat mengetahui bagaimana suatu rangsangan dapat menghasilkan reaksi dalam proses pembelajaran. Calon guru juga dapat menambah wawasannya dalam memahami siswa ketika belajar dan bagaimana siswa tersebut merespon atau memberikan reaksi terhadap pembelajaran yang diberikan guru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Pembiasaan Klasikal (Classical Conditioning)
Teori pembiasaan klasikal (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Terrace, 1973).
Pembiasaan klasikal (classical conditioning) ini termasuk pada Teori Behaviorisme, Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang harus diamati, bukan dengan proses mental. Menurut kaum behavioris, perilaku adalah segala sesuatu yang kita lakukan dan dapat dilihat secara langsung.
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut). Pengkodisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral (seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan kapasitas yang sama.
B. Teori Ivan Petrovich Pavlov
Teori pembiasaan klasik ini merupakan teori pertama dalam kelompok teori stimulus dan respon. Teori ini ditemukan oleh Ivan P. Pavlov (1848 - 1936). Ketika ia hendak mengkaji proses pencernaan hewan, ia mendapati bahwa sebelum seekor anjing mulai memakan makanan, air liurnya telah lebih dahulu keluar. Setiap kali anjing yang diamati melihat makanan, air liur anjing selalu keluar. Maka Pavlov ingin melatih anjing untuk mengeluarkan air liurnya sekalipun makanan tidak diberikan.
Pavlov merancang suatu eksperimen yakni dengan membunyikan lonceng segera sebelum anjing diberi makanan. Setelah eksperimennya ini dilaksanakan, maka ia dapat menyimpulkan bahwa anjing itu telah dilazimkan untuk bertindak terhadap rangsangan yang baru, yaitu lonceng yang sebelumnya tidak menyebabkan anjing mengeluarkan air liurnya.
Air liur yang keluar sekalipun hanya karena mendengar bunyi lonceng saja merupakan respon yang disebut respons yang dibiasakan; sedangkan ransangan atau stimulus yang menyebabkannya, yaitu bunyi lonceng disebut stimulus yang dibiasakan.
Eksperimen Pavlov dengan anjing itu terdiri dari empat elemen terpisah yang selalu muncul dalam teori eksperimen klasik, yaitu
a. Stimulus yang tidak dibiasakan (STD)
b. Respons tidak dibiasakan (RTD)
c. Stimulus yang dibiasakan (SD)
d. Respons yang dibiaskan (RD)
Menurut teori Pembiasaan Klasik ini kemampuan seseorang untuk membentuk respon-respon yang dibiasakan berhubungan erat dengan jenis sistem yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir dalam kemampuan belajar.
Teori pembiasaan klasik ini jika kita kaitkan dengan pembelajaran yaitu ketika seorang guru saat pertama kali mengajar harus memberikan aturan awal yang matang. Aturan awal tersebut harus konsisten dan tidak boleh berubah-ubah. Rangsangan awal itulah yang mengakibatkan terjadinya pembiasaan. Seperti seorang guru memberikan aturan saat mengumpulkan tugas harus tepat waktu maka siswa akan terbiasa untuk mengumpulkan tugas dengan tepat waktu tanpa diberitahukan lagi.
Pavlov adalah seorang ilmuan yang membaktikan dirinya untuk penelitian. Ia memandang ilmu pengetahuan sebagai sarana belajar tentang berbagai masalah dunia dan masalah manusia. Peranan dari ilmuan menurutnya antara lain membuka rahasia alam sehingga dapat memahami hukum-hukum yang ada pada alam. Disamping itu ilmuan juga harus mencoba memahami bagaimana manusia itu belajar dan tidak bertanya bagaimana mestinya manusia belajar.
C. Teori Edward L. Thorndike
Teori ini diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike (1874 - 1919), seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Teori ini dimulai dengan sebuah eksperimen yang disebuttrial and error. Dalam ekserimen itu Thorndike menempatkan seekor kucing di dalam sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dari dalam dengan menekan sebuah engsel. Dari eksperimen tersebut, Thorndike berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian.
Karena itu, teori pembelajarannya disebut connectionism atau S-R bond theory (teori gabungan stimulus dan respon). Yang dihubung-hubungkan di dalam sistem saraf adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam proses pembelajaran itu.
Dari eksperimen terhadap binatang-binatang itu, Thornadike merumuskan dua kaidah atau hukum pembelajaran utama, yaitu:
1) The law of exercise (hukum latihan), dan
2) The low of effect (hukum akibat).
Teori penghubungan ini jika dikaikan dengan pembelajaran yaitu dengan cara inquiri (menemukan). Seperti seorang guru memberikan beberapa gambar dan diperlihatkan kepada siswa. Dengan melihat gambar tersebut maka siswa akan menghubungkan gambar-gambar tersebut secara sistematis. Siswa akan menemukan sebuah cerita baru yang dihasilkan dari menghubungkan gambar. Hal ini dapat mengasah otak siswa untuk berpikir menemukan sesuatu hal yang baru dari sebuah gambar.
D. Teori John Broades Watson
Teori ini diperkenalkan oleh Jhon B. Watson (1878 - 1958) seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Teori ini kelanjutan dari teori pembiasaan klasik Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci serta didukung oleh eksperimen baru dengan binatang (terutama tikus) dan anak kecil (bayi).
Di Amerika Serikat, Watson dikenal sebagai Bapak Behaviorisme Karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus – Respons Bond, (S – R bond) yang juga dalam persaingan dengan teori strukturalisme dan mentalisme Wundt. Menurut behaviorisme yang dibuat Watson tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku dan sedikit pun tidak ada kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji dari teori ini adalah benda-benda yang dapat diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimuls) dan gerak balas (respons).
Jadi, semua perilaku dipelajari menurut hubungan stimuls dan respon. Watson mengadakan eksperimen terhadap bayi yang bernama Albert yang berumur 11 tahun untuk membuktikan teorinya.
Dalam hal ini Watson mengemukakan dua prinsip penting yaitu :
a. Recency principle (prinsip kebaruan)
b. Frequency principle (prinsip frekuensi)
Teori behaviorisme ini kaitannya dengan pembelajaran adalah kita dapat melihat bagaimana karakter seseorang dari perilakunya. Ketika kita melakukan pelajaran terhadap perilaku hal tersebut tidak dapat ditebak atau dipelajari tetapi bisa dilihat dari reaksi. Contoh ketika kita memberikan tugas kepada siswa maka ada yang setuju dan ada yang tidak, dari hal tersebut kita tahu karakter seseorang. Dengan demikian seorang guru dapat mengenali dan mengetahui bagaimana karakter peserta didiknya.
E. Teori Edwin Guthrie
Teori kesegeraan atau kedekatan (temporal contiguity atau contiguous conditionong) diperkenalkan oleh E. R. Guthrie. Menurutnya kesegeraan hubungan diantara satu gabungan stimulus dan respon akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola pasangan stimulus dan respon ini.
Kesegeraan merupakan kunci pembelajaran dalam teori ini dan bukannya penguatan. Guthrie menekankan bahwa penguatan tidak begitu penting karena hanya berfungsi sebagai satu faktor yang mencegah organisme mencoba respon yang lain.
Dengan kata lain, pembelajaran tidak langsung secara perlahan-lahan atau berangsung-angsur, tetapi secara single-trial. Oleh karena itu, latihan dan ulangan diperlukan guna membiasakan stimulus baru untuk menimbulkan respon yang dikehendaki.
Teori kesegeraan ini kaitannya dengan pembelajaran adalah guru dalam proses pembelajaran memberikan tekanan kepada siswa agar memperbesar respon atau reaksinya, dengan demikian siswa dapat menyelesaikan tugas dengan tidak menunda tugas tersebut. Sehubungan dengan adanya tekanan tersebut siswa terbiasa untuk mengerjakan tugasnya karena adanya tekanan dari guru. Tekanan tersebut bisa membuat siswa segera menyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Jadi, apa yang ingin disampaikan janganlah ditunda-tunda karena akan memberikan tekanan yang tidak dipuji.
F. Teori Burrhus Frederic Skinner
Teori ini biasa juga disebut pembiasaan instrumental atau pembiasaan instrumental yang diperkenalkan oleh B. F. Skinner seorang ahli psikologi Amerika yang dikenal sebagai tokoh utama aliran neobehaviorisme karena sebenarnya teori ini adalah bentuk baru dari behaviorisme.
Teori tentang pembiasaan operan (operant corditioning) atau pembiasaan instrumental (instrumental conditioning) akan dijelaskan dengan percobaan terhadap seekor tikus. Menurut Skinner hal paling penting yang harus diperhatikan adalah hubungan antara stimulus dan respon yang langsung dapat diamati, jangan memikirkan hubungan mental di antara keduanya karena hubungan-hubungan mental itu tidak dapat diamati.
Teori pembiasaan operan ini kaitannya dengan pembelajaran adalah guru selalu mendesak siswa untuk berpikir cepat tanpa adanya dispensasi menunggu-nunggu waktu. Dengan adanya hal tersebut, siswa bisa mengerjakan tugas dengan tepat waktu dan berpikir cepat. Hal ini membuat siswa terbiasa berpikir cepat dalam menerima dan merespon pembelajaran. Contoh guru memberikan soal yang langsung harus dijawab. Guru tidak harus memikirkan mental siswanya. Teori ini merupakan sesuatu yang tampak.
G. Prinsip-Prinsip Classical Conditioning
Prinsip-prinsip classical conditioning dalam pembelajaran menurut Pavlov adalah sebagai berikut:
1) Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan atau mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
2) Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
3) Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme atau individu.
4) Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
5) Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
Adapun berikut ini adalah beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolflok (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip pembiasaan klasikal dikelas:
1. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas- tugas belajar, misalnya:
Menekankan pada kerjasama dan kompetisi antar kelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain.
Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya:
Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran. Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
Jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk ditempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
3. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggenerelasikan secara tepat, misalnya, dengan:
Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orang tua ada.
H. Kelebihan Dan Kelemahan Teori Pembiasaan Klasikal (Classical Conditioning)
a) Kelebihan
Di saat individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya, akan memudahkan pendidik dalam melakukan pembelajaran terhadap anak didik tersebut.
b) Kelemahan
Jika ini dilakukan secara terus-menerus maka ditakutkan murid akan memiliki rasa ketergantungan atas stimulus yang berasal dari luar dirinya. Padahal seharusnya anak didik harus memiliki stimulus dari dirinya sendiri dalam melakukan kegiatan belajar dan kegiatan pemahaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam teori stimulus dan respon membahas lima teori yang berkaitan dengan pembelajaran psikologi pendidikan. Lima teori tersebut adalah teori pembiasaan klasik dari Pavlov, teori penghubungan dari Thorndike, teori behaviorisme dari Watson, teori kesegeraan dari Guthrie, teori pembiasaan operan dari Skinner.
Teori stimulus dan respon ini memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu, termasuk perilaku berbahasa (bahasa tubuh), bermula dengan adanya stimulus (rangsangan, aksi) yang segera menimbulkan respon (reaksi, gerak balas). Teori ini dalam pembelajaran sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana stimulus dari guru dan bagaimana reaksi siswa terhadap pembelajaran.
B. Saran
Sebagai calon guru kita harus dapat memahami siswa yang akan kita didik. Dari mempelajari teori stimulus dan respon ini kita dapat mengenal reaksi siswa saat belajar. Jika terjadi kendala dalam mengajar, baik cara menghadapi siswa yang telah jenuh maupun siswa yang bersikap tidak baik calon guru dapat mengatasinya. Teori ini dapat menambah pengetahuan sebagai bekal ketika akan mengajar di sekolah.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis serta dapat sebagai pembanding. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran guna menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nursalim, Mochammad dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Chaer, Abdul. 2002. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
_________ Linguistik Umum Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
John W.Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), cet.Ke-2, h.267
Muhbbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007), h.95
John W.Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), cet Ke- 2, h.268
Nana Sujana, Teori-Teori Untuk Pengajaran,(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
1991), h.66
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق