الثلاثاء، أكتوبر 30

makalah definisi fiqh mawaris


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Fiqih Mawaris............................................................................. 2
B.     Dasar Hukum Waris................................................................................. 3
C.     Hukum Mempelajari Fiqih Mawaris......................................................... 5
D.    Asas Hukum Kewarisan Islam................................................................. 6
E.     Analisis..................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ............................................................................................. 8
B.     Saran-Saran ............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Banyak kitab yang membahas tentang hukum kewarisan Islam selalu mengandung perbedaan pendapat, baik dikalangan ulama yang satu mazhab maupun yang berbeda mazhab. Hal ini dapat ketidak pastian hukum yang dapat membingungkan umat yang berperkara dan juga dapat menyulitkan para hakim pengadilan agama untuk menentukan pendapat mana yang diambil di antara sekian banyak pendapat itu.
Seiring dengan diterbitkanya Kompilasi Hukum Islam sebagai Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, dan di tindak lanjuti oleh Keputusan Menteri Agama No.154 Tahun 1991, serta Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, para hakim pengadilan agama telah mempunyai sandaran hukum (pijakan hukum) yang jelas dalam memutuskan perkasa khususnya masalah hukum kewarisan.
Bagi umat Islam Indonesia dewasa ini, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan dalam pengadilan agama dalam memutuskan kasus pembagian maupunpersengketaan berkenaan dengan harta kewarisan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi fiqh mawaris?
2.      Apa dasar hukum fiqh mawaris?
3.      Apa hukum mempelajari fiqh mawaris?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Fiqih Mawaris
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah yang menamakan hukum kewarisan Islam yaitu fiqih mawaris, ilmu faraid, dan hukum kewarisan.
Kata Fiqh berasal dari bahasa arab Fiqh yang secara bahasa adalah mengetahui, memahami, yaitu mengetahui sesuatu sebagai hasil usaha menggunakan akal pikiran yang sungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ‘ulama ilmu yang membahas segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalinya yang jelas (Al-Qur’an dan Al-Hadits).[1]
KataMawaris itu berasal dari bahasa arab yaitu bentuk jamak dari ميرا ث(miraats) adalah harta peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para warisnya. Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka adalah warits.
Para fuqaha menta’rifkan ilmu ini dengan:
عِلمٌ يُعرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ
“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagiannya.”[2]
Sedangkan kata faraidh adalah bentuk jamak dari kata fardh, artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ كَيْفِيَةِ التَّرْكَةِ عَلىَ مُسْتَحِقِّهَا
“Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya”[3]
Jadi, Fiqih Mawaris atauIlmuFaraidhadalah suatu disiplin ilmu yang membahas seluk-beluk pembagian harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris, dan bagian-bagiannya.
B.     Dasar Hukum Waris
a)      Dasar hukum Al- Quran (QS. An-Nisaayat 7-14 danayat 176)
Al-Quran Surat An-Nisa ayat 7
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai ahli waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban.Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, dimana wanita di pandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat di wariskan.

Al-Quran Surat Nisa ayat 8
#sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ  
Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dengan harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.




b)     Dasar hukum hadis Rasulullah sebagai berikut:
Hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Bukhari:
عَنْ أبِى هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمْ قَالَ: أنَا أولَى بِا لْمُعْمِنِينَ أنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيه دَيْنٌ وَلمْ يَتْرُكْ مَا لاَ فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَا لاَ فَلِوَرِثِهِ رواه البخاري

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah S.A.W bersabda: “Saya adalah yang lebih utama dari seorang muslim dari diri mereka sendiri, siapa-siapa yang meninggal dengan memiliki utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya maka sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan arangsiapa yang meninggalkan harta makan harta itu untuk ahli warisnya.

Hadis dari Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari:
عَنِ ابْنُ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِى صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمْ قَال: ألْحِقُوا الفَرَئِضَ بَأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَلأِولُى رَجُلٍ ذَكَرٍ. رواه البخاري

Berikanlah faraidh (bagian yang di tentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.

Hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi
عَنْ اُسَمَةَ بْنِ زَيدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمْ قَالَ: لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ االكَافِرُ المُسْلِمَ رواه الترمذي
Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi S.A.W bersabda: “seorang muslim tidak mewarisi harta nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak mewarisi harta orang muslim.[4]



C.    Hukum Mempelajari Fiqih Mawaris
Rasulullah S.A.W memerintahkan dan mengajarkan hukum kewarisan Islam (faraidh), agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagi harta warisan, lantaran ketidakadaan ulama yang menguasai ilmu hukum waris. Sebagaimana sabdanya:

تَعَلَّمُوا الْقُرْانَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاس, وَتَعَلَّمُوا الْفَرَائِضُ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ, فَاِنِّى اَمْرؤٌ مَقْبُوْضٌ, وَاِنَّ هَذَا الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ, وَحَتَّى يَحْتَلِفَ الْاِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ, فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا.
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lainserta pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu inipun bakal sirna hingga muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut”. (HR.Ahmad, An-Nasa’i, dan Daruquthni).[5]

تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. رواه ابن ماجه والدارقطنى
“Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkannlah ia kepada oranglaim. Sesungguhnya ilmu ini adalah setengah dari semua ilmu, dan ilmu inilah yang pertama sekali kelak tercabut dari umatku (tidak diamalkan lagi)”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).[6]
Perintah tersebut berisi perintah wajib. Hanya saja kewajiban belajar dan mengajarkanya itu gugur bila ada sebagian orang yang telah melaksanakanya. Tetapi, jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakanya, semua orang Islam mengandung dosa, lantaran melakukan suatu kewajiban. Ini berarti fardhu kifayah.[7]
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada yang dirugikan dan termakan bagianya oleh ahli waris yang lain.[8]
Tidak jarang terjadi problem keluarga karena persoalan membagi waris, karena salah satu diantara keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian waris dalam agama, sehingga kadangkala sampai terangkat kesidang pengadilan. Oleh karena itu, jika diantara anggota keluarga ada yang memahami tentang hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke pengadilan.

D.    Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam adalah suatu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihn harta dari orang yang meninggal dunia kepada orang (keluarga) yang masih hidup.
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan bentuk karesteristikdari hukum kewarisan Islam itu sendiri.
a)      AsasI jbari
Secara etimologi, “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya.
b)      Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara individu) berhakata sebagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapat semua harta yang telah menjadi bagiannya.[9]
c)      Asas Ketauhidan
Asas kewarisan Islam adalah prinsipketauhidan. Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa melaksanakan pembagian waris dengan sistem waris Islam, terlebih dahulu harus didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulullah S.A.W, artinya beriman pada ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, melaksanakan waris Islam merupakan wujud ketaatan yang mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya.[10]
d)     Asas Keadilan
Keadilan artinya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Titik tolak kewarisan Islam adalah menyerahkan harta peninggalan kepada hak warisnya sesuai dengan ketetapan Allah. Hak waris laki-laki dan perempuan diberikan secara proporsional. Oleh karena itu, makna keadilan bukan sama rata, melainkan adanya keseimbanganyang disesuaikan dengan hak dan kewajiban secara proporsional.[11]
e)      Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihakgaris kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki.[12]
f)       Asas Individual
Asas ini mengajarkan asas kewarisan secara individual artinya harta warisan dapat di bagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan , ahli waris itu menerima warisan tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.
g)      Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai hartameninggal dunia. Asas ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai itu masih hidup.[13]

E.     Analisis
Fiqh Mawaris adalah ilmu yang sangat penting. Dengan mengetahui ilmu ini seseorang akan dapat menyelesaikan pembagian harta waris sesuai syariat Islam dan akan terhindar dari perselisihan. Namun di zaman sekarang ini, banyak kiranya masyarakat yang tidak mengetahui ilmu mawaris dan otomatis pembagian harta warisnya pun tidak sesuai dengan syariat Islam. Padahal hukum mengetahui ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Hal ini merupakan masalah yang perlu dikaji lebih lanjut.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Fiqih Mawaris atau Ilmu Faraidh adalah suatu disiplin ilmu yang membahas seluk-beluk pembagian harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris, dan bagian-bagiannya. Dasar hukum fiqih Mawaris yaitu Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7-14 dan ayat 176 serta bebera pahadist Nabi Saw.
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam diantaranya: Asas Ketauhidan, Asas Keadilan, Asas Bilateral, Asas Individual dan Asas Semata Akibat Kematian.

B.     Saran
Bagi pembaca setelah membaca makalah ini di harapkan lebih memahami mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai sesuai dengan ajaran islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.






DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabuni, Muhammad Ali.1995. PembagianWarisMenurut Islam.Jakarta:GemaInsani
Press.

Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris (Hukum Pembagian Warisan Merurut Syrariat Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra

K.Lubis, Suhrawardi. Simanjuntak, Komis. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta:Sinar Grafika.

Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhibbin, Moh. Wahid, Abdul. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.

Nasution, Amin Husain. 2012. HukumKewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Riyanto, WaryaniFajar.2012. Studi HukumWaris Islam.Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.




[1] Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia ,(Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm. 5
[2] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Hukum Pembagian Warisan Merurut Syrariat Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2010),hlm. 5
[3] Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Op.cit,.hlm. 8
[4] Ibid, hlm. 17-21
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian WarisMenurut Islam, (Jakarta: GemaInsani Press, 1995), hlm. 16
[6] Amin Husain Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: RajawaliPers, 2012), hlm. 54
[7] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,2014),hlm.24
[8] Moh Muhibin, Abdul Wahid, Op.Cit,hlm.10
[9] Waryani Fajar Riyanto, Studi Hukum Waris Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), hlm. 179
[10] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2009),hlm.19
[11] Ibid,.hlm. 33
[12] Suhrawardi K.Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2007),hlm.40
[13] Moh. Muhibbin & Abdul Wahid Op Cit, hlm.24-30

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق