DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI
..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah
................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Fiqih Mawaris............................................................................. 2
B.
Dasar Hukum Waris................................................................................. 3
C.
Hukum Mempelajari Fiqih Mawaris......................................................... 5
D.
Asas Hukum Kewarisan Islam................................................................. 6
E.
Analisis..................................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................. 8
B.
Saran-Saran ............................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak kitab yang membahas tentang hukum kewarisan Islam selalu
mengandung perbedaan pendapat, baik dikalangan ulama yang satu mazhab maupun
yang berbeda mazhab. Hal ini dapat ketidak pastian hukum yang dapat
membingungkan umat yang berperkara dan juga dapat menyulitkan para hakim
pengadilan agama untuk menentukan pendapat mana yang diambil di antara sekian
banyak pendapat itu.
Seiring dengan diterbitkanya Kompilasi Hukum Islam sebagai
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, dan di tindak lanjuti oleh Keputusan
Menteri Agama No.154 Tahun 1991, serta Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang
Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, para hakim pengadilan
agama telah mempunyai sandaran hukum (pijakan hukum) yang jelas dalam
memutuskan perkasa khususnya masalah hukum kewarisan.
Bagi umat Islam Indonesia dewasa ini, aturan Allah tentang
kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan dalam pengadilan agama
dalam memutuskan kasus pembagian maupunpersengketaan berkenaan dengan harta
kewarisan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi fiqh mawaris?
2.
Apa dasar hukum fiqh mawaris?
3.
Apa hukum mempelajari fiqh mawaris?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Fiqih Mawaris
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah yang
menamakan hukum kewarisan Islam yaitu fiqih mawaris, ilmu faraid, dan hukum
kewarisan.
Kata Fiqh berasal dari bahasa arab Fiqh yang secara bahasa adalah
mengetahui, memahami, yaitu mengetahui sesuatu sebagai hasil usaha menggunakan
akal pikiran yang sungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ‘ulama ilmu yang
membahas segala hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalinya
yang jelas (Al-Qur’an dan Al-Hadits).[1]
KataMawaris itu berasal dari bahasa arab yaitu bentuk jamak dari ميرا ث(miraats) adalah harta peninggalan orang yang meninggal yang
diwariskan kepada para warisnya. Orang yang meninggalkan harta disebut
muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka adalah warits.
Para
fuqaha menta’rifkan ilmu ini dengan:
عِلمٌ يُعرَفُ بِهِ
مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ
التَّوْزِيْعِ
“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang
yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
pembagiannya.”[2]
Sedangkan kata faraidh adalah bentuk jamak dari kata fardh, artinya
kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungan dengan ilmu, menjadi ilmu
faraidh, maksudnya ialah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ
كَيْفِيَةِ التَّرْكَةِ عَلىَ مُسْتَحِقِّهَا
“Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang
yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya”[3]
Jadi, Fiqih Mawaris atauIlmuFaraidhadalah suatu disiplin ilmu yang
membahas seluk-beluk pembagian harta waris, ketentuan-ketentuan ahli waris, dan
bagian-bagiannya.
B.
Dasar Hukum Waris
a)
Dasar hukum Al- Quran (QS. An-Nisaayat 7-14 danayat 176)
Al-Quran Surat An-Nisa
ayat 7
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4
$Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ketentuan
dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukan, bahwa dalam Islam
baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai ahli waris, dan sekaligus
merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban.Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, dimana
wanita di pandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat di wariskan.
Al-Quran Surat
Nisa ayat 8
#sÎ)ur
u|Øym
spyJó¡É)ø9$#
(#qä9'ré&
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur
Nèdqè%ãö$$sù
çm÷YÏiB
(#qä9qè%ur
óOçlm;
Zwöqs%
$]ùrã÷è¨B
ÇÑÈ
Artinya : “Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dengan harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik”.
b)
Dasar hukum hadis Rasulullah sebagai berikut:
Hadis dari Abu
Hurairah menurut riwayat Bukhari:
عَنْ
أبِى هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمْ
قَالَ: أنَا أولَى بِا لْمُعْمِنِينَ أنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيه دَيْنٌ
وَلمْ يَتْرُكْ مَا لاَ فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَا لاَ فَلِوَرِثِهِ
رواه البخاري
Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah S.A.W bersabda: “Saya adalah yang lebih utama dari
seorang muslim dari diri mereka sendiri, siapa-siapa yang meninggal dengan
memiliki utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya maka sayalah yang
akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan arangsiapa yang meninggalkan
harta makan harta itu untuk ahli warisnya.
Hadis dari
Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari:
عَنِ
ابْنُ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِى صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمْ
قَال: ألْحِقُوا الفَرَئِضَ بَأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَلأِولُى رَجُلٍ ذَكَرٍ.
رواه البخاري
Berikanlah
faraidh (bagian yang di tentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.
Hadis Nabi dari
Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi
عَنْ
اُسَمَةَ بْنِ زَيدِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمْ قَالَ: لاَيَرِثُ
الْمُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ االكَافِرُ المُسْلِمَ رواه الترمذي
Dari
Usamah bin Zaid bahwa Nabi S.A.W bersabda: “seorang muslim tidak mewarisi harta
nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak mewarisi harta orang muslim.[4]
C.
Hukum Mempelajari Fiqih Mawaris
Rasulullah S.A.W memerintahkan dan mengajarkan hukum kewarisan
Islam (faraidh), agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam membagi
harta warisan, lantaran ketidakadaan ulama yang menguasai ilmu hukum waris.
Sebagaimana sabdanya:
تَعَلَّمُوا
الْقُرْانَ
وَعَلِّمُوْهُ النَّاس, وَتَعَلَّمُوا الْفَرَائِضُ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ,
فَاِنِّى اَمْرؤٌ مَقْبُوْضٌ, وَاِنَّ هَذَا الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ,
وَحَتَّى يَحْتَلِفَ الْاِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ, فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ
يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا.
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lainserta pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang
bakal meninggal, dan ilmu inipun bakal sirna hingga muncul fitnah. Bahkan akan
terjadi dua orang yang berselisih dalam
hal pembagian
(hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut”. (HR.Ahmad, An-Nasa’i, dan
Daruquthni).[5]
تعلمواالفرائض وعلموهاالناس
فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. رواه ابن ماجه والدارقطنى
“Pelajarilah ilmu
faraidh dan ajarkannlah ia kepada oranglaim. Sesungguhnya ilmu ini
adalah setengah dari semua ilmu, dan ilmu inilah yang pertama sekali kelak
tercabut dari umatku (tidak diamalkan lagi)”. (HR. Ibnu Majah dan
Ad-Daruquthniy).[6]
Perintah tersebut berisi perintah wajib. Hanya saja kewajiban
belajar dan mengajarkanya itu gugur bila ada sebagian orang yang telah
melaksanakanya. Tetapi, jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakanya,
semua orang Islam mengandung dosa, lantaran melakukan suatu kewajiban. Ini
berarti fardhu kifayah.[7]
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar
kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan
agama, jangan sampai ada yang dirugikan dan termakan bagianya oleh ahli waris
yang lain.[8]
Tidak jarang terjadi problem keluarga karena persoalan membagi
waris, karena salah satu diantara keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian
waris dalam agama, sehingga kadangkala sampai terangkat kesidang pengadilan.
Oleh karena itu, jika diantara anggota keluarga ada yang memahami tentang hukum
waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke pengadilan.
D.
Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan
Islam adalah suatu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur
peralihn harta dari orang yang meninggal dunia kepada orang (keluarga) yang
masih hidup.
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan
bentuk karesteristikdari hukum kewarisan Islam itu sendiri.
a)
AsasI jbari
Secara etimologi,
“Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum
waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi
dengan sendirinya.
b)
Asas Individual
Pengertian asas
individual ini adalah setiap ahli waris (secara individu) berhakata sebagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli
waris lainnya. Dengan demikian
bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapat semua harta
yang telah menjadi bagiannya.[9]
c)
Asas Ketauhidan
Asas kewarisan Islam adalah prinsipketauhidan. Prinsip ini
didasarkan pada pandangan bahwa melaksanakan pembagian waris dengan sistem
waris Islam, terlebih dahulu harus didasarkan pada keimanan yang kuat kepada
Allah dan Rasulullah S.A.W, artinya beriman pada ajaran-ajaran-Nya yang termuat
dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, melaksanakan waris Islam
merupakan wujud ketaatan yang mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya.[10]
d)
Asas Keadilan
Keadilan artinya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Titik tolak
kewarisan Islam adalah menyerahkan harta peninggalan kepada hak warisnya sesuai
dengan ketetapan Allah. Hak waris laki-laki dan perempuan diberikan secara
proporsional. Oleh karena itu, makna keadilan bukan sama rata, melainkan adanya
keseimbanganyang disesuaikan dengan hak dan kewajiban secara proporsional.[11]
e)
Asas Bilateral
Adapun yang dimaksud asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam
adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihakgaris
kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki.[12]
f)
Asas Individual
Asas ini mengajarkan asas kewarisan secara individual artinya harta
warisan dapat di bagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan , ahli waris itu menerima warisan tanpa terikat dengan ahli waris
lainnya.
g)
Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta orang lain dengan
menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai
hartameninggal dunia. Asas ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai itu masih hidup.[13]
E.
Analisis
Fiqh Mawaris adalah ilmu yang sangat penting. Dengan mengetahui ilmu ini seseorang akan dapat menyelesaikan pembagian harta waris sesuai syariat
Islam dan akan terhindar dari perselisihan.
Namun di zaman sekarang ini, banyak kiranya masyarakat yang tidak mengetahui ilmu
mawaris dan otomatis pembagian harta warisnya pun tidak sesuai dengan syariat
Islam. Padahal hukum mengetahui ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Hal
ini merupakan masalah yang
perlu dikaji lebih lanjut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris atau Ilmu Faraidh adalah
suatu disiplin ilmu yang membahas seluk-beluk pembagian harta waris,
ketentuan-ketentuan ahli waris,
dan bagian-bagiannya. Dasar hukum fiqih Mawaris yaitu
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7-14 dan ayat
176 serta bebera pahadist Nabi
Saw.
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan
bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam diantaranya:
Asas Ketauhidan, Asas Keadilan,
Asas Bilateral, Asas Individual dan Asas Semata Akibat Kematian.
B. Saran
Bagi
pembaca setelah membaca makalah ini di harapkan lebih memahami mawaris dalam
kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai sesuai dengan ajaran islam dimana
hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali.1995. PembagianWarisMenurut Islam.Jakarta:GemaInsani
Press.
Ash-Shiddieqy,
Teuku Muhammad Hasbi. 2010. Fiqh Mawaris (Hukum Pembagian Warisan Merurut
Syrariat Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
K.Lubis,
Suhrawardi. Simanjuntak, Komis. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta:Sinar Grafika.
Mardani. 2014. Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhibbin, Moh.
Wahid, Abdul. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum
Positif di Indonesia. Jakarta:Sinar
Grafika.
Nasution, Amin
Husain. 2012. HukumKewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Riyanto, WaryaniFajar.2012.
Studi HukumWaris
Islam.Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press.
Saebani, Beni
Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia ,(Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm.
5
[2] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Hukum
Pembagian Warisan Merurut Syrariat Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra,2010),hlm. 5
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian WarisMenurut Islam, (Jakarta: GemaInsani Press, 1995), hlm. 16
[6] Amin Husain Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:
RajawaliPers, 2012), hlm. 54
[9] Waryani Fajar Riyanto, Studi Hukum Waris Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), hlm. 179
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق