BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang
tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan
politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan
mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan
politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin
renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam
diterapkan.[1]
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah
mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial
budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun
demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan,
baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan
dukungan kekuatan sosial budaya.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda
dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah
berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara
pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi
empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama,
peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi
pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia.
Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama
Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi
hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua
segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah
dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku
secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan
hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama
yang menyangkut perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam mengalami
pasang surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu itu. Apa sesungguhnya
yang menjadi keinginan dan tujuan para pemegang kekuasaan, baik kekuasaan
pemerintah maupun kekuasaan pejabat politik, maka penerapan hukum Islam itu
diarahkan kepada kebijakan tersebut. Pada masa pemerintahan Belanda misalnya,
ada sebuah teori yang sangat berpengaruh bagi Pemerintah Kolonial Belanda
didalam pembentukan hukum di Indonesia yang dikenal dengan teori resepsi.
Pengaruh teori resepsi ini masih melekat pada masa awal kemerdekaan atau pada
masa pemerintahan orde lama, dan bahkan sampai pada masa pemerintahan Orde Baru
(1967-1998).
Pada masa Orde Baru ini konsep pembangunan
hukum diarahkan pada konsep kesatuan hukum nasional, di mana hukum agama
(Islam) yang dianut mayoritas rakyat Indonesia tidak dengan serta merta dapat
dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Beberapa hukum Islam untuk diangkat
menjadi materi hukum membutuhkan kerja keras dari umat Islam, meskipun
sebenarnya hukum itu hanya diberlakukan bagi pemeluknya. Hukum Islam sekalipun
merupakan the living law yang secara konsep ilmu hukum seharusnya diterapkan,
namun oleh Pemerintah Orde Baru, hukum Islam dilihat sebagai ajaran agama yang
tidak mengakar ke bumi, karena cukup dipahami bukan untuk diterapkan.
Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di
Indonesia yang mengalami pasang surut tersebut juga dikarenakan hukum Islam
bukanlah satu-satunya sistem hukum yang berlaku pada saat itu, tetapi terdapat
sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini
saling pengaruh-mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di
Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para founding fathers
berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta hukum yang akan berlaku
di Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam
mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum
yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional.
Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum
Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala
mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum
Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan
perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan
hukum Islam.
Setiap
negara terdapat politik hukum yang perannya sebagai kebijakan dasar bagi
penyelenggara negara untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Sebagaimana pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono dengan
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang
apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya
mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.[2]
Oleh
karena itu, dalam tulisan ini akan membahas alur perkembangan politik hukum dan
perannya dalam pembangunahan hukum di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga
pasca reformasi.
B. Rumusan Masalah
A.
Apa
tujuan utama gerakan reformasi di Indonesia?
B.
Bagaimana
hukum di indonesia pra reformasi, hukum islam di era reformasi hingga peran
politik hukum di indonesia pasca reformasi?
C. Tujuan
A.
Dapat
memahami tujuan utama gerakan reformasi di Indonesia.
B.
Dapat
mengetahui hukum di Indonesia pra reformasi, hukum islam di era reformasi
hingga peran politik hukum di indonesia pasca reformasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Utama
Gerakan Reformasi
Tujuan
utama gerakan reformasi itu dulu adalah memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) yang telah dituangkan dalam sebuah Ketetapan oleh MPR yang kala itu
menjadi Lembaga Tertinggi Negara, dan membuka pintu demokrasi yang semasa rezim
Orba telah dibelenggu. Di masa awal gerakan reformasi, setiap orang/tokoh
mengklaim dirinya reformis dan siapapun tokoh yang anti reformasi akan tergusur
atau dipeti-eskan karier dan kesempatan politiknya. Bermunculanlah para
reformis di belantara politik negeri ini, euforia reformasi kala itu begitu
gempita hingga hampir tak terbatas.
Kebebasan
dalam berpendapat menjadi senjata untuk bermain-main dalam suasana
ketidak-pastian ranah politik, deklarasi pendirian partai politik yang bagai
kacang goreng hingga beberapa daerah yang mencoba-coba berteriak “merdeka”
karena ada oknum tokoh asal daerahnya terpinggirkan dari arena politik nasional
itu telah terjadi. Efouria
Reformasi yang menjanjikan perbaikan dari rezim Orba dengan pemberantasan KKN
dan kebebasan berpendapat ternyata mulai berada titik klimaks (perilaku korup
masih tetap ada menyebar hingga ke daerah-daerah), gaung demokrasi juga cuma
dipenuhi oleh orang-orang tamak kekuasaan, bergaya pembela rakyat tetapi
sesungguhnya pembela ambisi-ambisi pribadi dan kelompoknya.
Reformasi
yang seharusnya menjadi sarana peningkatan taraf hidup rakyat yang berkeadilan
sosial dengan menjunjung supremasi hukum ternyata hanya retorika belaka, proses
demokrasi lewat pemilu dan berbagai pilkada di daerah juga hanya untuk
legitimasi kekuasaan atas nama rakyat yang justru banyak mengabaikan
kepentingan rakyat (berbagai tindakan korup di daerah dan konspirasi kotor
lainnya seiring dilaksanakannya otonomi daerah). Masih banyak ketidak-adilan hukum
membelenggu rakyat, pisau hukum teramat tajam bagi rakyat (orang tua renta
diadili, orang bodoh ditelanjangi harkat kemanusiaannya di mata hukum).
Perbaikan taraf hidup dengan pemekaran cuma dinikmati kelompok-kelompok
tertentu, orang kecil masih tetap kecil yang susah masih terus bersahabat
dengan kekuarangan dan keterbatasannya.
Pendidikan
bermutu masih tetap milik kaum berpunya, fasilitas kesehatan yang baik cuma
untuk mereka yang bisa membayar. Konspirasi demi konspirasi tetap berjalan
dengan modus, model dan gaya berbeda dari rezim sebelumnya, prestasi KKN juga
masih tak kalah heboh dari penguasa sebelumnya. Kebebasan berpendapat yang
bergaun demokrasi juga telah menenggelamkan hati nurani, ketika simbol-simbol
tokoh pemimpin yang harusnya dihormati dijadikan bahan parodi bak di negeri
mimpi. Tiada lagi kewibawaan seorang pemimpin, tiada lagi nurani kemanusiaan
ketika seorang lemah harus duduk menjadi terdakwa di pengadilan (Pengadilan
seorang nenek tersangka pencurian, rekayasa hukum pemulung dll).
Demontrasi
yang berujung dengan pertumpahan darah, kerusuhan, sengketa tanah, hingga
sengketa kepengurusan elit parpol baik pusat maupun di daerah merupakan berita
yang disajikan sehari-hari. Nasib pekerja yang juga masih termarjinalkan,
kelompok-kelompok informal yang terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi kaum
kapitalis yang dapat membeli hukum dan aparatnya.
Reformasi
bergerak dan menyusuri sendi-sendi kehidupan bernegara di negeri ini saja telah
mengorbankan harta benda dan nyawa yang belum terbayar sampai saat ini. Apalagi
bila revolusi bergerak maju memberantas pemerintahan rezim reformasi, tentu
banyak lagi darah mengalir, jiwa melayang, harta benda terbakar. Bila KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), demokrasi tanpa nurani dan supremasi hukum
masih dinodai oleh oknum-oknum yang bergentayangan terus merajalela, bukan hal
yang tidak mungkin pintu-pintu revolusi akan terbuka. Setelah reformasi politik
dan hukum berjalan sejak 1998 di Indonesia, memang masih ada satu reformasi
yang sampai saat ini belum menjadi gerakan nasional yakni, mereformasi
birokrasi. Padahal dengan melakukan reformasi birokrasi ini, banyak keuntungan
yang didapat. Ada lima target dan sasaran dari diberlakukannya reformasi
birokrasi ini. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi
yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua,
birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas.
Ketiga, birokrasi yang transparan, yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan
aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan
mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta
dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang
terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi
kepada pimpinan unit kerja terdepan. Dapat dipastikan bahwa dengan adanya
reformasi birokrasi di indonesia, tidak akan ada lagi birokrasi yang memiliki
kewenangan besar sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani
birokrasi dan menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang
pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat.
Oleh sebab itu, wajar saja di indonesia birokrasi lebih dianggap sebagai sumber
masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang
dihadapi masyarakat.
Secara
etimologis, istilah politik hukum merupakan terjamahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata
rech dan politiek.[3]
Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal
dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan, ketetapan,
perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Berkaitan dengan istilah ini, belum
ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan dan
arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang
abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam
memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai
pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangakat
aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.
Penjelasan
etimologis di atas tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana,
sehingga dalam banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tetang
apa itu politik hukum. Guna melengkapi uraian di atas penulis menyajikan
definisi-definisi politik hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang
selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :
1.
LJ.
van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah
politik perundang-undangan.[4]
Politik hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan.
Pengertian ini terbatas hanya pada hukum tertulis saja[5]
2.
Teuku
Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa
negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah
kemana hukum hendak dikembangkan.
3.
Abdul
Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik
pembangunan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu
pemerintah negara tertentu.[6]
4.
Sunaryati
Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, namun ia melihat
bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang
dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia.
5.
Moh.
Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.[7]
Dari
pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian konsep, asas,
kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik
pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta
penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang
berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta
untuk mencapai tujuan negara.
B. Hukum di
Indonesia Pra Reformasi
Hukum
yang di berlaku di Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang didasarkan kepada landasan ediologi dan konstitusi negara Indonesia, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun atas kreativitas yang
didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu,
hukum Indonesia sebenarnya tidak lain adalah hukum yang bersumber dari
nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.[8] Pasca
Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan dalam menentukan
sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya
dan sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada awalnya
pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba
melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial. Akan tetapi dalam kenyataannya
berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana
model-model strategiknya dalam doktrin.
Menurut
Daniel S. Lev,[9]
setelah Indonesia merdeka para advokat dan para cendekiawan menginginkan negara
Indonesia bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu
terjadi karena berbagai kesulitan yang timbul karena keragaman hukum rakyat
yang umumnya tak terumus secara eksplisit, bahkan juga karena sistem
pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi,
prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta
pula profesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sebagai
warisan kolonial yang tidak mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam
waktu singkat. Pernyataan di atas tentu saja bukan alasan untuk pembenar
terhadap berlangsungnya keadaan serta proses pewarisan hukum kolonial di
Indonesia. Walaupun faktanya memang terdapat faktor yang sulit dinafikan dalam
kerangka membangun sistem hukum Indonesia yang benar-benar terlepas dari
tradisi sistem hukum kolonial. Mengingat Indonesia adalah negara merdeka, jadi
hukum yang berlaku mestinya tercermin dari nilai-nilai sosial budaya Indonesia
itu sendiri.
Terlanjur
memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan tradisi hukum
kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki struktur yang lebih
pasti, ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanan selanjutnya. Esmi Warassih
dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa ; “Penerapan suatu
sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat
merupakan masalah, khususnya di negara- negara yang sedang berubah karena
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum
dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri”.[10]
Demikian
pula para perencana dan para pembina hukum nasional, meskipun mereka mengaku
bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam adalah sesungguhnya
merupakan pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda. Oleh
karena itu, mereka sedikit banyak ikut dicondongkan untuk berpikir dan
bertindak menurut alur tradisi ini dan bergerak dengan modal sistem hukum
positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku
berdasarkan aturan peralihan). Namun demikian, juga tidak benar bila dikatakan
bahwa para pemuka hukum Indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk melepaskan
diri dari pasungan hukum kolonial.
Berkenaan
dengan persoalan di atas, Daniel S. Lev menyatakan bahwa perhatian para
pemimpin republik pada waktu itu banyak tersita untuk upaya-upaya
merealisasikan kesatuan dan persatuan nasional saja, sehingga sedikit banyak
mengabaikan inovasi-inovasi pranata dan kelembagaan masyarakat dan negara. Para
pemimpin Republik ini banyak berbicara soal cita- cita, akan tetapi ketika tiba
pada keharusan untuk merealisasikannya ternyata banyak yang tidak siap dengan
rencana strategik untuk menuntun perubahan-perubahan. Ketika dihadapkan pada
persoalan-persoalan dan realita-realita yang ada, para elit Republik ini
cenderung untuk mencari pemecahan dengan merujuk pada petunjuk-petunjuk lama
yang pernah mereka kenal pada masa lalu.[11]
Disamping
itu, dalam sistem hukum nasional ada pertimbangan tidak boleh ada kekosongan
hukum, Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa ”segala peraturan
perundang-undangan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang- Undang Dasar ini”. Ketentuan ini memberi legitimasi konstitusional bagi
peraturan perundang- undangan warisan kolonial untuk tetap berlaku. Namun,
fenomena itu tentu saja tidak boleh berlaku karena visi dan misi yang
terkandung dalam peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak
bertentangan dengan tradisi agama masyarakat. Atas dasar itu, upaya pembangunan
hukum nasional di Indonesia menjadi mutlak dilakukan.[12]
Keinginan
membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut
keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi
sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti
mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari
paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran
masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis.
Dalam
kaitan itu, Sunarjati Hartono,[13] merekomendasikan
beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia
dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1)
Hukum
Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat,
dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya,
jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;
2)
Hukum
nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-
bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas
kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan
persoalan yang baru pula;
3)
Pembentukan
peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya,
aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi
kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan
itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam
kemakmuran serta makmur dalam keadilan.
Upaya
pembangunan hukum di Indonesia hingga saat ini sebenarnya senantiasa dilakukan
dengan cara memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan pasal-pasal dalam UUD
1945, seperti pada era Orde Baru yang berusaha memurnikan kembali Pancasila dan
pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut
peraturan perundang- undangan, namun dalam prakteknya selama 32 tahun belum
berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi
upaya memantapkan perundang-undangan di masa depan. Dalam menyikapi persoalan
pembangunan hukum nasional ini, sepertinya perlu suatu upaya untuk penataan
kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur
dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi
hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai
dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Menyimak dari penjelasan di atas, ada
sebuah keinginan yang besar bagi bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan hingga
reformasi untuk terus memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan pasal-pasal
dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi
dengan perkembangan zaman dengan mengganti hukum yang baru yang bersumber dari
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sesuai dengan perkembangan Indonesia saat
ini. Sejalan dengan itu, politik hukum sangat berperan bagi penguasa atau
pemerintah untuk membangun hukum nasional di Indonesia yang dikehendaki.
C. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan
kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan
yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya
secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka
peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama
pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang
didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa
peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat
umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin
jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya
adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka
peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi
hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan
pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam,
untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
D. Peran
Politik Hukum di Indonesia Pasca Reformasi
Sebagaimana
telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, politik hukum diartikan sebagai
kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan
telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk
tujuan negara yang dicita-citakan. Dengan demikian, sangat jelas bahwa politik
hukum dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik
Indonesia.
Politik
hukum yang akan, sedang dan telah diberlakukan di wilayah yurisdiksi Republik
Indonesia itu sangat penting, karena hal itu akan menjadi sebagai pedoman dasar
dalam proses penentuan nilai-nilai, penerapan, pembentukan dan pembangunan
hukum di Indonesia. Artinya, baik secara normatif maupun praktis-fungsional,
penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum sebagai acuan pertama dan
utama dalam proses-proses di atas. Menurut Daniel S. Lev, yang paling
menentukan dalam proses pembentukan hukum adalah konsepsi dan kekuasaan
politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan
bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik,
defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Walaupun
kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan
maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan kekuasaan
politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik
dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan,
ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan
struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Dari
kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh
tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata
“institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan
perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh
kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan
dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik
diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah)
baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.[14] Pengaruh
kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang
dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti
lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara
adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara,
mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya
berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan
kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan
fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan
sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya
oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan
gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut
dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan
kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi
politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung. Di luar
kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk
hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat
yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang
Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan
di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan
hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan,
dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter,
maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai
dengan lahirnya sejumlah undang- undang yang memberi apresiasi yang begitu
besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan
oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah
memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya
ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati.[15]
Satu
catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para
lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu: ”Kalau
opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu
penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang
hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.[16]
Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting
memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya
akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi
kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui
mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk
menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma,
kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi
hukum positif.
Perlu
di jelas disini bahwa peran politik hukum terhadap pembangunan hukum nasional
di indonesia tidak bisa dilepas dari kontek sejarah. Sebagaimana diketahui,
setelah Indonesia merdeka hingga pasca reformasi bangsa Indonesia telah
berupaya untuk membenahi sistem hukum nasional sesuai dengan perkembangan
negara Indonesia saat ini. Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia
telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (bedasarkan periode
sistem politik) antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Sejalan
dengan perubahan-perubahan politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Terjadinya
perubahan itu karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum
berubah jika politik yang melahirkannya berubah.
a.
Perubahan Berbagai UU
Tampak
jelas dan terbukti secara gamlang bahwa ”hukum sebagai produk politik” sangat
ditentukan oleh perubahan-perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah
kekuasaan Suharto jatuh, maka hukum-hukum juga lansung diubah, terutama
hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan yakni hukum tata
negara. Berikut ini beberapa contohnya.[17]
1.
UU
tentang Partai Politik dan Gelongan Karya diganti dengan UU tentang Kepartaian.
Jika semula rakyat dipaksa untuk hanya menerima dan memilih tiga organisasi
sosial politik tanpak boleh mengajukan alternatif, maka sekarang rakyat
diperbolehkan membentuk partai politik yang eksistensinya di parlemen bisa
dibatasi oleh rakyat melalui pemilu dengan memberlakukan electoral theshold dan/atau
parliamentary threshold.[18]
2.
UU
tentang Pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang
diangkat oleh presiden. Penyelenggara pemilu juga dilepaskan dari hubungan
struktural dengan pemerintah, dari yang semula diselenggarakan oleh Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dialihkan ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat mendiri.
3.
UU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak sejalan dengan
perubahan UU tentang Pemilu. Perubahan atas UU ini sampai tahun 2004 berisi
pengurangan terhadap jumlah anggota DPR yang diangakat serta pengangkatan
anggota MPR secara lebih terbuka, namun sejak pemilu 2004 perubahan atas UU
sudah meniadakan pengangkatan sama sekali dan memasukkan Dewan Perwakilan
Daerah sebagai lembaga negara yang baru sejalan dengan amandemen atas UUD 1945
yang menentukan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
4.
UU
tentang Pemerintah Daerah juga diganti, dari yang semula berasas otonomi nyata
dan bertanggung jawab menjadi berasas otonomi luas, dari yang secara politik
sentralistik menjadi desentralistik.
Selain
contoh-contoh di atas, masih banyak UU lain yang di ubah sejalan dengan
perubahan politik dari Orde Baru ke Reformasi. Seperti tentang ketentuan Surat
Isin Penerbitan Pers (SIUPP) di cabut, Dwifungsi ABRI dihapus, TNI pisah dari
POLRI, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (PA) dihapus, Kekuasaan
kehakiman disatuatapkan, dan masih banyak contoh lainnya.
b.
Penghapusan Tap MPR
Pasca
reformasi 1998 perubahan hukum bukan hanya mengantarkan perubahan berbagai UU
seperti yang dikumukan di atas, melainkan menyentuh juga peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Ketetapan Majelis Pemusyawaratan
rakyat (Tap MPR) dan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. untuk tingkat Tap MPR
yang mula-mula ditiadakan adalah Tap MPR No. II/MPR/1978 tetang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang
Referendum, tetapi akhirnya Tap MPR sendiri dinyatakan dihapus dari peraturan
perundang-undangan sejalan dengan perubahan atau amandemen atas UUD 1945.
Amandemen
UUD 1945 mengubah hubungan antarlembaga negara dari yang vertikal- struktural
menjadi horizontal-fungsional sehingga ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR
yang semula merupaka lembaga tertinggi negara diturunkan derajatnya menjadi
lembaga negara biasa yang sejajar dengan lembaga negara dlainnya yaitu DPR,
DPD, Presiden, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial.
Dengan
posisi yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan
perundang-undangan di dalam tata hukum tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai
peraturan. Adapun tap MPR yang sudah terlanjur ada yang jumlahnya mencapai 139
Tap sejak tahun 1960 hingga tahun 2003 tetap berlaku sesuai dengan perintah
pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 hasil amandemen, MPR mengeluarkan Tap No.
I/MPR/2003 merupakan Tap Terakhir yang menutup semua Tap MPR yang bersifat
mengatur dalam arti tidak boleh ada lagi setelah itu Tap MPR yang bersifat
mengatur.
c.
Perubahan Undang-Undang Dasar
Penghapusan
Tap MPR seperti yang telah disinggung di atas sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan merupakan akibat dari perubahan atau amandemen
atas UUD 1945. Perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan produk politik hukum di
Indonesia pasca reformasi. Pada masa reformasi ada arus pemikiran kuat yang
dimotori oleh berbagai kampus dan para pegiat demokrasi bahwa reformasi
konstitusi merupakan kaharusan jika ingin melakukan reformasi. Karena krisis
multi dimensi yang menimpa Indonesia disebabkan sistem politik yang otoriter
sehingga untuk memperbaikinya harus dimulai dari perubahan sistem politik agar
menjasi demokratis. Untuk membangan sistem politik yang demokratis haruslah
dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 karena sistem politik otoriter yang
dibangun selalu masuk dari celah-celah yang ada pada UUD 1945 tersebut. Ada hal
lain yang memperkuat alasa dilakukannya amandemen atau perubahan UUD 1945 yakni
alasan konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik
sebagaimana dikemukankan oleh KC Whese. Sebagai resultante, kontitusi merupakan
kesepakatan pembuatannya sesuai dengan keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya pada saat dibuat.[19]
Meskipun
dapat diubah melalui resultante baru sesuai dengan tuntutan waktu, tempat dan poleksosbud Undang-Undang Dasar itu
dirancang dengan muatan isi dan prosedur yang tidak mudah diubah. Perubahan
hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat penting dan dengan
prosedur yang tidak mudah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdarasrakan
uraian dan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa para sahabat dan
ulama’-ulama terdahulu banyak berperan dalam proses perkembangan islam di
Indonesia ini. Gerakan dakwah yang tak kenal lelah serta sikapnya yang mampu
membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan
ajaran dan Syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil.
Selain itu,
sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia telah melalui masa yang tidak
sebentar karena telah melalui beberapa priode sejak Pra penjajahan belanda dan
seterusnya hingga sekarang. Oleh karena itu kita harus menjaga hasil dari pemikiran-pemikiran
para pendahulu kita yang mana pemikiran mereka tidak dilakukan dengan
sembarangan melaikan dengan ijtihad yang tidak mudah. Selain itu sekarang sudah
banyak pemikiran-pemikiran yang sangat ekstrim sehingga kita harus berhati-hati
akan pemikiran tersebut agar nanti kita tidak terjerumus ke dalam pemikiran
yang sesat itu.
Politik Hukum
dan Perannya dalam Pembangunan hukum di Indonesia Pasca Reformasi, sebagai
berikut :
a.
Politik
hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak
penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan
hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.
b.
Upaya
pembangunan hukum di Indonesia hingga saat ini senantiasa dilakukan dengan cara
memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan peraturan-peraturan warisan kolonial
dengan peraturan-peraturan berdasarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa
Indoneisa sediri sesuai dengan perkembangan zaman Indonesia.
c.
Proses
pembangunan hukum nasional pada masa reformasi terjadi perubahan pada berbagai
undang-undang, seperti undang-undang tentang partai politik, pemilu dan Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dan lain-lain. Selain itu perubahan juga
terjadi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni penghapusan
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat (Tap MPR) dan perubahan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945.
d.
Pembangunan
hukum nasional hendaknya dapat menciptakan rasa keadilan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, dan
bukan untuk kempentingan kelompok tertentu atau individu.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan
apabila ada pihak merasa tersinggung kami selaku penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Apabila ada kebaikan dan manfaat dalam tulisan ini maka itu
datangnya dari Allah SWT dan apa bila ada salah ketik atau kekurangan dalam
tulisan ini maka itu datangnya dari diri kami sendiri ( Al-insaanu makanul
khoto’ wa annisyaan ).
DAFTAR
PUSTAKA
Appeldoorn, LJ. van, Pengantar
Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradyaParamitha, Jakarta,1981. Tambunan, A.S.S,
Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta 2002. Garuda
Nusantara, Abdul Hakim, PolitikHukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Cet. Ke-27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Hartono, Sunarjati, Dari Hukum
Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Alumni, Bandung, 1971.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum
Menuju Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Komar, Mieke, Mochtar Kusumaatmadja:
Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR.
Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999. hal. 91
Mahfud MD, Moh, Politik Hukum di
Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.
S. Lev, Daniel, Hukum dan Politik
di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Syaukani, Imam dan
Thohari, A. Ahsin, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1999.
Wajowasito S, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,
1997, hal. 66 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001.
Wignjosoebroto,
Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasiona,Dinamika Sosial-Politik
dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1994.
[1] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. XII-XIV
[2]
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986, hal. 160
[3]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 19
[4] LJ.
van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradnyaParamitha,
Jakarta, 1981, hal. 390.
[5]
A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers,
Jakarta 2002, hal. 9
[6]Abdul
Hakim Garuda Nusantara, Politi kHukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988,
hal. 2
[7] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 2
[8] Sunaryati
Hartono, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung,
1991, hal. 64
[9]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasiona,Dinamika
Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1994, hal. 13
[10]
Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001, hal. 12.
[11]
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan,
LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 190
[12]
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. II, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 78
[13]
Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat,
Alumni, Bandung, 1971, hal. 31
[14] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Cet. Ke-27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 18
[17]
Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hal. 374
[18] Parliamentary
threshold merupakan pengganti dari upaya penyaringan atau upaya
penyederhanaan parpol dengan electoral threshold.
[19]
K.C. Wheare, the Modern Contitutions, Oxford University Press, 3rd
Impression, London-New York- teronto, 1975, hal. 67.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق