الأربعاء، يوليو 11

makalah politik hukum islam


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam diterapkan.[1]
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan, baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama yang menyangkut perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam mengalami pasang surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu itu. Apa sesungguhnya yang menjadi keinginan dan tujuan para pemegang kekuasaan, baik kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan pejabat politik, maka penerapan hukum Islam itu diarahkan kepada kebijakan tersebut. Pada masa pemerintahan Belanda misalnya, ada sebuah teori yang sangat berpengaruh bagi Pemerintah Kolonial Belanda didalam pembentukan hukum di Indonesia yang dikenal dengan teori resepsi. Pengaruh teori resepsi ini masih melekat pada masa awal kemerdekaan atau pada masa pemerintahan orde lama, dan bahkan sampai pada masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998).
Pada masa Orde Baru ini konsep pembangunan hukum diarahkan pada konsep kesatuan hukum nasional, di mana hukum agama (Islam) yang dianut mayoritas rakyat Indonesia tidak dengan serta merta dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Beberapa hukum Islam untuk diangkat menjadi materi hukum membutuhkan kerja keras dari umat Islam, meskipun sebenarnya hukum itu hanya diberlakukan bagi pemeluknya. Hukum Islam sekalipun merupakan the living law yang secara konsep ilmu hukum seharusnya diterapkan, namun oleh Pemerintah Orde Baru, hukum Islam dilihat sebagai ajaran agama yang tidak mengakar ke bumi, karena cukup dipahami bukan untuk diterapkan.
Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia yang mengalami pasang surut tersebut juga dikarenakan hukum Islam bukanlah satu-satunya sistem hukum yang berlaku pada saat itu, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling pengaruh-mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para founding fathers berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta hukum yang akan berlaku di Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam.
Setiap negara terdapat politik hukum yang perannya sebagai kebijakan dasar bagi penyelenggara negara untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Sebagaimana pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.[2]
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan membahas alur perkembangan politik hukum dan perannya dalam pembangunahan hukum di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga pasca reformasi.
B. Rumusan Masalah
A.    Apa tujuan utama gerakan reformasi di Indonesia?
B.     Bagaimana hukum di indonesia pra reformasi, hukum islam di era reformasi hingga peran politik hukum di indonesia pasca reformasi?

C. Tujuan
A.    Dapat memahami tujuan utama gerakan reformasi di Indonesia.
B.     Dapat mengetahui hukum di Indonesia pra reformasi, hukum islam di era reformasi hingga peran politik hukum di indonesia pasca reformasi.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Tujuan Utama Gerakan Reformasi
Tujuan utama gerakan reformasi itu dulu adalah memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang telah dituangkan dalam sebuah Ketetapan oleh MPR yang kala itu menjadi Lembaga Tertinggi Negara, dan membuka pintu demokrasi yang semasa rezim Orba telah dibelenggu. Di masa awal gerakan reformasi, setiap orang/tokoh mengklaim dirinya reformis dan siapapun tokoh yang anti reformasi akan tergusur atau dipeti-eskan karier dan kesempatan politiknya. Bermunculanlah para reformis di belantara politik negeri ini, euforia reformasi kala itu begitu gempita hingga hampir tak terbatas.
Kebebasan dalam berpendapat menjadi senjata untuk bermain-main dalam suasana ketidak-pastian ranah politik, deklarasi pendirian partai politik yang bagai kacang goreng hingga beberapa daerah yang mencoba-coba berteriak “merdeka” karena ada oknum tokoh asal daerahnya terpinggirkan dari arena politik nasional itu telah terjadi.             Efouria Reformasi yang menjanjikan perbaikan dari rezim Orba dengan pemberantasan KKN dan kebebasan berpendapat ternyata mulai berada titik klimaks (perilaku korup masih tetap ada menyebar hingga ke daerah-daerah), gaung demokrasi juga cuma dipenuhi oleh orang-orang tamak kekuasaan, bergaya pembela rakyat tetapi sesungguhnya pembela ambisi-ambisi pribadi dan kelompoknya.
Reformasi yang seharusnya menjadi sarana peningkatan taraf hidup rakyat yang berkeadilan sosial dengan menjunjung supremasi hukum ternyata hanya retorika belaka, proses demokrasi lewat pemilu dan berbagai pilkada di daerah juga hanya untuk legitimasi kekuasaan atas nama rakyat yang justru banyak mengabaikan kepentingan rakyat (berbagai tindakan korup di daerah dan konspirasi kotor lainnya seiring dilaksanakannya otonomi daerah). Masih banyak ketidak-adilan hukum membelenggu rakyat, pisau hukum teramat tajam bagi rakyat (orang tua renta diadili, orang bodoh ditelanjangi harkat kemanusiaannya di mata hukum). Perbaikan taraf hidup dengan pemekaran cuma dinikmati kelompok-kelompok tertentu, orang kecil masih tetap kecil yang susah masih terus bersahabat dengan kekuarangan dan keterbatasannya.
Pendidikan bermutu masih tetap milik kaum berpunya, fasilitas kesehatan yang baik cuma untuk mereka yang bisa membayar. Konspirasi demi konspirasi tetap berjalan dengan modus, model dan gaya berbeda dari rezim sebelumnya, prestasi KKN juga masih tak kalah heboh dari penguasa sebelumnya. Kebebasan berpendapat yang bergaun demokrasi juga telah menenggelamkan hati nurani, ketika simbol-simbol tokoh pemimpin yang harusnya dihormati dijadikan bahan parodi bak di negeri mimpi. Tiada lagi kewibawaan seorang pemimpin, tiada lagi nurani kemanusiaan ketika seorang lemah harus duduk menjadi terdakwa di pengadilan (Pengadilan seorang nenek tersangka pencurian, rekayasa hukum pemulung dll).
Demontrasi yang berujung dengan pertumpahan darah, kerusuhan, sengketa tanah, hingga sengketa kepengurusan elit parpol baik pusat maupun di daerah merupakan berita yang disajikan sehari-hari. Nasib pekerja yang juga masih termarjinalkan, kelompok-kelompok informal yang terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi kaum kapitalis yang dapat membeli hukum dan aparatnya.
Reformasi bergerak dan menyusuri sendi-sendi kehidupan bernegara di negeri ini saja telah mengorbankan harta benda dan nyawa yang belum terbayar sampai saat ini. Apalagi bila revolusi bergerak maju memberantas pemerintahan rezim reformasi, tentu banyak lagi darah mengalir, jiwa melayang, harta benda terbakar. Bila KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), demokrasi tanpa nurani dan supremasi hukum masih dinodai oleh oknum-oknum yang bergentayangan terus merajalela, bukan hal yang tidak mungkin pintu-pintu revolusi akan terbuka. Setelah reformasi politik dan hukum berjalan sejak 1998 di Indonesia, memang masih ada satu reformasi yang sampai saat ini belum menjadi gerakan nasional yakni, mereformasi birokrasi. Padahal dengan melakukan reformasi birokrasi ini, banyak keuntungan yang didapat. Ada lima target dan sasaran dari diberlakukannya reformasi birokrasi ini. Pertama, terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan, yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan. Dapat dipastikan bahwa dengan adanya reformasi birokrasi di indonesia, tidak akan ada lagi birokrasi yang memiliki kewenangan besar sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi dan menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Oleh sebab itu, wajar saja di indonesia birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjamahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata rech dan politiek.[3] Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Berkaitan dengan istilah ini, belum ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangakat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.
Penjelasan etimologis di atas tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana, sehingga dalam banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tetang apa itu politik hukum. Guna melengkapi uraian di atas penulis menyajikan definisi-definisi politik hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :
1.      LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.[4] Politik hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian ini terbatas hanya pada hukum tertulis saja[5]
2.      Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.
3.      Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintah negara tertentu.[6]
4.      Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, namun ia melihat bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
5.      Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.[7]
Dari pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai tujuan negara.

B. Hukum di Indonesia Pra Reformasi
Hukum yang di berlaku di Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ediologi dan konstitusi negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun atas kreativitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum Indonesia sebenarnya tidak lain adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.[8] Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan dalam menentukan sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya dan sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.
Menurut Daniel S. Lev,[9] setelah Indonesia merdeka para advokat dan para cendekiawan menginginkan negara Indonesia bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu terjadi karena berbagai kesulitan yang timbul karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit, bahkan juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula profesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sebagai warisan kolonial yang tidak mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Pernyataan di atas tentu saja bukan alasan untuk pembenar terhadap berlangsungnya keadaan serta proses pewarisan hukum kolonial di Indonesia. Walaupun faktanya memang terdapat faktor yang sulit dinafikan dalam kerangka membangun sistem hukum Indonesia yang benar-benar terlepas dari tradisi sistem hukum kolonial. Mengingat Indonesia adalah negara merdeka, jadi hukum yang berlaku mestinya tercermin dari nilai-nilai sosial budaya Indonesia itu sendiri.
Terlanjur memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan tradisi hukum kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki struktur yang lebih pasti, ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanan selanjutnya. Esmi Warassih dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa ; “Penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara- negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri”.[10]
Demikian pula para perencana dan para pembina hukum nasional, meskipun mereka mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam adalah sesungguhnya merupakan pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda. Oleh karena itu, mereka sedikit banyak ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur tradisi ini dan bergerak dengan modal sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan aturan peralihan). Namun demikian, juga tidak benar bila dikatakan bahwa para pemuka hukum Indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk melepaskan diri dari pasungan hukum kolonial.
Berkenaan dengan persoalan di atas, Daniel S. Lev menyatakan bahwa perhatian para pemimpin republik pada waktu itu banyak tersita untuk upaya-upaya merealisasikan kesatuan dan persatuan nasional saja, sehingga sedikit banyak mengabaikan inovasi-inovasi pranata dan kelembagaan masyarakat dan negara. Para pemimpin Republik ini banyak berbicara soal cita- cita, akan tetapi ketika tiba pada keharusan untuk merealisasikannya ternyata banyak yang tidak siap dengan rencana strategik untuk menuntun perubahan-perubahan. Ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan dan realita-realita yang ada, para elit Republik ini cenderung untuk mencari pemecahan dengan merujuk pada petunjuk-petunjuk lama yang pernah mereka kenal pada masa lalu.[11]
Disamping itu, dalam sistem hukum nasional ada pertimbangan tidak boleh ada kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa ”segala peraturan perundang-undangan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini”. Ketentuan ini memberi legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang- undangan warisan kolonial untuk tetap berlaku. Namun, fenomena itu tentu saja tidak boleh berlaku karena visi dan misi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan dengan tradisi agama masyarakat. Atas dasar itu, upaya pembangunan hukum nasional di Indonesia menjadi mutlak dilakukan.[12]
Keinginan membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis.
Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono,[13] merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1)      Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;
2)      Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian- bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula;
3)      Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.
Upaya pembangunan hukum di Indonesia hingga saat ini sebenarnya senantiasa dilakukan dengan cara memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan pasal-pasal dalam UUD 1945, seperti pada era Orde Baru yang berusaha memurnikan kembali Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang- undangan, namun dalam prakteknya selama 32 tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan perundang-undangan di masa depan. Dalam menyikapi persoalan pembangunan hukum nasional ini, sepertinya perlu suatu upaya untuk penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan. Menyimak dari penjelasan di atas, ada sebuah keinginan yang besar bagi bangsa Indonesia semenjak kemerdekaan hingga reformasi untuk terus memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dengan mengganti hukum yang baru yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sesuai dengan perkembangan Indonesia saat ini. Sejalan dengan itu, politik hukum sangat berperan bagi penguasa atau pemerintah untuk membangun hukum nasional di Indonesia yang dikehendaki.

C. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

D. Peran Politik Hukum di Indonesia Pasca Reformasi
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, politik hukum diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk tujuan negara yang dicita-citakan. Dengan demikian, sangat jelas bahwa politik hukum dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia.
Politik hukum yang akan, sedang dan telah diberlakukan di wilayah yurisdiksi Republik Indonesia itu sangat penting, karena hal itu akan menjadi sebagai pedoman dasar dalam proses penentuan nilai-nilai, penerapan, pembentukan dan pembangunan hukum di Indonesia. Artinya, baik secara normatif maupun praktis-fungsional, penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum sebagai acuan pertama dan utama dalam proses-proses di atas. Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses pembentukan hukum adalah konsepsi dan kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.


Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.[14] Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara  yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung. Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang- undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati.[15]
Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu: ”Kalau opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.[16] Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Perlu di jelas disini bahwa peran politik hukum terhadap pembangunan hukum nasional di indonesia tidak bisa dilepas dari kontek sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah Indonesia merdeka hingga pasca reformasi bangsa Indonesia telah berupaya untuk membenahi sistem hukum nasional sesuai dengan perkembangan negara Indonesia saat ini. Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (bedasarkan periode sistem politik) antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Terjadinya perubahan itu karena hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika politik yang melahirkannya berubah.

a.      Perubahan Berbagai UU
Tampak jelas dan terbukti secara gamlang bahwa ”hukum sebagai produk politik” sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan politik. Begitu rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto jatuh, maka hukum-hukum juga lansung diubah, terutama hukum-hukum publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan yakni hukum tata negara. Berikut ini beberapa contohnya.[17]
1.         UU tentang Partai Politik dan Gelongan Karya diganti dengan UU tentang Kepartaian. Jika semula rakyat dipaksa untuk hanya menerima dan memilih tiga organisasi sosial politik tanpak boleh mengajukan alternatif, maka sekarang rakyat diperbolehkan membentuk partai politik yang eksistensinya di parlemen bisa dibatasi oleh rakyat melalui pemilu dengan memberlakukan electoral theshold dan/atau parliamentary threshold.[18]
2.         UU tentang Pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden. Penyelenggara pemilu juga dilepaskan dari hubungan struktural dengan pemerintah, dari yang semula diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dialihkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat mendiri.
3.         UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak sejalan dengan perubahan UU tentang Pemilu. Perubahan atas UU ini sampai tahun 2004 berisi pengurangan terhadap jumlah anggota DPR yang diangakat serta pengangkatan anggota MPR secara lebih terbuka, namun sejak pemilu 2004 perubahan atas UU sudah meniadakan pengangkatan sama sekali dan memasukkan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga negara yang baru sejalan dengan amandemen atas UUD 1945 yang menentukan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
4.         UU tentang Pemerintah Daerah juga diganti, dari yang semula berasas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi berasas otonomi luas, dari yang secara politik sentralistik menjadi desentralistik.
Selain contoh-contoh di atas, masih banyak UU lain yang di ubah sejalan dengan perubahan politik dari Orde Baru ke Reformasi. Seperti tentang ketentuan Surat Isin Penerbitan Pers (SIUPP) di cabut, Dwifungsi ABRI dihapus, TNI pisah dari POLRI, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (PA) dihapus, Kekuasaan kehakiman disatuatapkan, dan masih banyak contoh lainnya.

b.      Penghapusan Tap MPR
Pasca reformasi 1998 perubahan hukum bukan hanya mengantarkan perubahan berbagai UU seperti yang dikumukan di atas, melainkan menyentuh juga peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat (Tap MPR) dan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. untuk tingkat Tap MPR yang mula-mula ditiadakan adalah Tap MPR No. II/MPR/1978 tetang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, tetapi akhirnya Tap MPR sendiri dinyatakan dihapus dari peraturan perundang-undangan sejalan dengan perubahan atau amandemen atas UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 mengubah hubungan antarlembaga negara dari yang vertikal- struktural menjadi horizontal-fungsional sehingga ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR yang semula merupaka lembaga tertinggi negara diturunkan derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan lembaga negara dlainnya yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial.
Dengan posisi yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan. Adapun tap MPR yang sudah terlanjur ada yang jumlahnya mencapai 139 Tap sejak tahun 1960 hingga tahun 2003 tetap berlaku sesuai dengan perintah pasal I Aturan Tambahan UUD 1945 hasil amandemen, MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 merupakan Tap Terakhir yang menutup semua Tap MPR yang bersifat mengatur dalam arti tidak boleh ada lagi setelah itu Tap MPR yang bersifat mengatur.

c.       Perubahan Undang-Undang Dasar
Penghapusan Tap MPR seperti yang telah disinggung di atas sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan merupakan akibat dari perubahan atau amandemen atas UUD 1945. Perubahan UUD 1945 itu sendiri merupakan produk politik hukum di Indonesia pasca reformasi. Pada masa reformasi ada arus pemikiran kuat yang dimotori oleh berbagai kampus dan para pegiat demokrasi bahwa reformasi konstitusi merupakan kaharusan jika ingin melakukan reformasi. Karena krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia disebabkan sistem politik yang otoriter sehingga untuk memperbaikinya harus dimulai dari perubahan sistem politik agar menjasi demokratis. Untuk membangan sistem politik yang demokratis haruslah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 karena sistem politik otoriter yang dibangun selalu masuk dari celah-celah yang ada pada UUD 1945 tersebut. Ada hal lain yang memperkuat alasa dilakukannya amandemen atau perubahan UUD 1945 yakni alasan konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik sebagaimana dikemukankan oleh KC Whese. Sebagai resultante, kontitusi merupakan kesepakatan pembuatannya sesuai dengan keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat.[19]
Meskipun dapat diubah melalui resultante baru sesuai dengan tuntutan waktu, tempat  dan poleksosbud Undang-Undang Dasar itu dirancang dengan muatan isi dan prosedur yang tidak mudah diubah. Perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat penting dan dengan prosedur yang tidak mudah.





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdarasrakan uraian dan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa para sahabat dan ulama’-ulama terdahulu banyak berperan dalam proses perkembangan islam di Indonesia ini. Gerakan dakwah yang tak kenal lelah serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan Syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil.
Selain itu, sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia telah melalui masa yang tidak sebentar karena telah melalui beberapa priode sejak Pra penjajahan belanda dan seterusnya hingga sekarang. Oleh karena itu kita harus menjaga hasil dari pemikiran-pemikiran para pendahulu kita yang mana pemikiran mereka tidak dilakukan dengan sembarangan melaikan dengan ijtihad yang tidak mudah. Selain itu sekarang sudah banyak pemikiran-pemikiran yang sangat ekstrim sehingga kita harus berhati-hati akan pemikiran tersebut agar nanti kita tidak terjerumus ke dalam pemikiran yang sesat itu.

Politik Hukum dan Perannya dalam Pembangunan hukum di Indonesia Pasca Reformasi, sebagai berikut :
a.       Politik hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.
b.      Upaya pembangunan hukum di Indonesia hingga saat ini senantiasa dilakukan dengan cara memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan peraturan-peraturan warisan kolonial dengan peraturan-peraturan berdasarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indoneisa sediri sesuai dengan perkembangan zaman Indonesia.
c.       Proses pembangunan hukum nasional pada masa reformasi terjadi perubahan pada berbagai undang-undang, seperti undang-undang tentang partai politik, pemilu dan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dan lain-lain. Selain itu perubahan juga terjadi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni penghapusan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat (Tap MPR) dan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
d.      Pembangunan hukum nasional hendaknya dapat menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, dan bukan untuk kempentingan kelompok tertentu atau individu.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan apabila ada pihak merasa tersinggung kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apabila ada kebaikan dan manfaat dalam tulisan ini maka itu datangnya dari Allah SWT dan apa bila ada salah ketik atau kekurangan dalam tulisan ini maka itu datangnya dari diri kami sendiri ( Al-insaanu makanul khoto’ wa annisyaan ).




















DAFTAR PUSTAKA

Appeldoorn, LJ. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradyaParamitha, Jakarta,1981. Tambunan, A.S.S, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta 2002. Garuda Nusantara, Abdul Hakim, PolitikHukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Hartono, Sunarjati, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Alumni, Bandung, 1971.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Komar, Mieke, Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999. hal. 91
Mahfud MD, Moh, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.
S. Lev, Daniel, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Syaukani, Imam dan Thohari, A. Ahsin, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999.
Wajowasito S, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1997, hal. 66 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasiona,Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.


[1] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. XII-XIV
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 160
[3] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 19
[4] LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradnyaParamitha, Jakarta, 1981, hal. 390.
[5] A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta 2002, hal. 9
[6]Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politi kHukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988, hal. 2
[7]               Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 2
[8] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hal. 64
[9] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasiona,Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13
[10] Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14 April 2001, hal. 12.
[11] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 190
[12] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 78
[13] Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Alumni, Bandung, 1971, hal. 31
[14] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 18
[15] Walter Lippmann, Filsafat Publik, Yayasan Obor, Jakarta, 1999, hal. 21
[16] Ibid, hal. 15
[17] Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hal. 374
[18] Parliamentary threshold merupakan pengganti dari upaya penyaringan atau upaya penyederhanaan parpol dengan electoral threshold.
[19] K.C. Wheare, the Modern Contitutions, Oxford University Press, 3rd Impression, London-New York- teronto, 1975, hal. 67.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق