BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Mawaris
Ilmu
mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di
tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits
adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli
waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu
mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara
yang sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip
dan nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu
mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan
orang yang meninggal dunia.
Para
waris dari golongan laki-laki yang di sepakati pewaris mereka ada 10 orang yang
secara garis besar dan Ada 15 orang secara terperinci.
1.
Golongan dari laki-laki
a. Anak laki-laki
b. Putra dari anak laki-laki dan seterusnya
kebawah
c. Ayah
d. kakek yang shohih dan seterusnya ke
atas.
e. saudara laki-laki seayah dan seibu
f. saudara laki-laki seayah
g. saudara laki-laki seibu
h. putra saudara laki-laki seayah dan seibu
i.
putra
saudara laki-laki seayah
j.
saudara
laki-laki ayah yang seayah seibu
k. saudara laki-laki seayah
l.
putra
saudara laki-laki yang seayah seibu
m. putra saudara laki-laki ayah yang seayah
n. suami
o. orang yang laki laki yang membebaskan budak.
2.
Golongan dari perempuan
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. putri dari anak laki-laki dan seterusnya
ke bawah
d. nenek yang shohih dan seterusnya keatas
( ibu dari ibu )
e. nenek yang shohih dan seterusnya keatas
( ibu dari ayah )
f. saudara perempuan seayah dan seibu
g. saudara perempuan seayah
h. saudara perempuan seibu
i.
Istri
j.
orang
perempuan yang membebaskan budak[1]
Sumber
hukum iLmu mawarits dan hukum mempelajarinya, Sumber hukum ilmu mawarits Ada
Tiga, yaitu:
1.
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176,
dan pada surah lainnya.
2.
Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud
bahwasanya Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Bagilah harta pustaka antara
ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
3.
Ijma’ dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu
mawarits adalah Wajib (fardhu kifayah), yaitu apabila di suatu tempat ada salah
seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi
kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka
semua orang ikut berdosa.
Tujuan
Ilmu Mawarits
1. Agar dapat melaksanakan pembagian harta
warisan kepada ahli warits yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan
syari’at Islam
2. Agar dapat di ketahui secara jelas siapa
orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa bagian masing”.
3. Agar dapat menentukan bagian harta
warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi perselisihan.
Syarat
pewarisan
1. Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan
mempunyai harta maka akan di wariskan harta peninggalannya.karna sudah
merupakan ketentuan hukumnya.harta warisan tidak mungkin di bagikan sebelum
orang yang mempunyai harta peninggalan itu di nyatakan meninggal dunia secara
hakiki.
2. Ahli waris harus masih hidup
Ahli waris yang akan menerima harta
warisan dari orang yang meninggal dunia harus masih hidup. Artinya Apabila ada
ahli waris yang sudah meninggal itu tidak berhak mendapat harta peninggalan.
3. Ahli waris harus jelas posisinya
Masing-masing ahli waris harus dapat di
ketahui posisinya secara pasti, supaya bagian-bagian harta warisan itu dapat di
peroleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab ketentuan hukum pewrisan
selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkatan ahli waris.
Rukun
Pewarisan
1.
Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau
orang yang meninggalkan harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai
dengan syari’at Islam
2.
Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta
peninggalan dari Muwarits karena sebab-sebab tertentu. Waris di sebut juga
dengan Ahli Waris.
3.
Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh
muwaris yang akan di bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya ( ahli
waris ). Miras itu bermacam-macam harta, misalnya tanah, rumah, uang,
kendaraan, dan lain sebagainya.
B.
Sebab-sebab Menerima harta warisan dan penghalang
mendapatkan warisan.
Dalam
Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai berikut:
1.
Hubungan kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan
antara ahli waris laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang
kuat dan Lemah. Sesuai ketentuan yang berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat
dari penerimaannya ada tiga kelompok:
a. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh
bagian tertentu seperti suami mendapat seperdua bila orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan mendapat seperempat bila orang yang meninggal mempunyai
anak.
b. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan
kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk ahli waris yang mendapat bagian
tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.
c. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa
harta atau menghabiskan sisa, setelah ahli waris yang memperoleh bagian
tertentu mengambil bagian masing-masing.
2.
Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa
menyebabkan adanya saling waris mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah
putus maka gugurlah saling waris mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa
iddah pada talak raj’i.
3.
Hubungan wala’ (memerdekakan budak)
Seseorang yang telah memerdekakan budak
bisa menyebabkan memperoleh warisan. Jika budak yang di merdekakan itu
meninggal dunia, maka orang yang memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan
tetapi, jika orang yang memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah
di merdekakan itu tidak berhak mendapatkan apa-apa.
4.
Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia
tidak mempunyai ahli waris, baik dari hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala’,
maka harta warisannya itu di berikan kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke
baitul Mal untuk kemashlahatan umat islam.
Sebab-sebab
Tidak menerima / Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:
1.
Perbudakan
Seorang budak tidak dapat menerima
warisan dan tidak dapat memberikan warisan dari dan kepada semua
keluarganya (yang mempunyai hubungan
nasab) yang meninggal dunia selama ia masih berstatus budak. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Swt. Dalam surat an-Nahl ayat 75.[2]
2.
Pembunuhan
Para ahli hukum islam sepakat bahwa
tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada
prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang
dibunuhnya.
3.
Berlainan
Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan
agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Dasar hukum berlainan agama sebagai mawani’ul irsi adalah hadis
rasulullah saw yang artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.
4.
Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu negara adalah memiliki
kepala negara sendiri, memiliki angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan
sendiri. Maka yang dimaksud berlainan negara adalah yang berlainan ketiga unsur
tersebut. Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut hukumnya,
berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat sekaligus hukumnya.
Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha bahwa hal ini
tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab semua negara islam
mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan politik dan sistem
pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara
orang-orang yang non muslim.[3]
C.
Pengelompokkan ahli waris dan hak masing-masing.
1. Ahli Waris Yang masuk golongan ashabah
ialah:
Anak
Laki-laki
a. Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
b. Ayah
c. Kakek Laki-laki dan seterusnya keatas
d. Saudara laki-laki seibu
e. Saudara seayah
f. Anak laki-laki dari saudara seibu seayah
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah
h. Paman seibu seayah
i.
Paman
seayah
j.
Anak
laki-laki dari paman laki-laki seibu seayah
k. Anak laki-laki dari paman saudara seayah
l.
Laki-laki
yang memerdekakan.
m. Perempuan yang memerdekakan
Ahli
waris ashabah ini menerima warisan berdasarkan peringatan di mulai dari
peringkat pertama Bila ada ashabah pada peringkat yang lebih dekat tentu
ashabah yang barada di peringkat berikutnya akan terhijab otomatis.
Mengenal
kedudukan ayah dan kakek memang strategis, satu sisi mereka adalah dzaul furudh
tetapi disisi lain mereka juga jadi ashabah, tentu manakala atau cucu laki-laki
tidak ada, ayah dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.
2. Bahagian Ahli Waris Dzaul Furudh
a. Yang menerima setengah (1/2)
1) Anak perempuan apabila hanya seorang
2) Anak perempuan dari anak laki-laki (
cucu perempuan ), Apabila hanya seorang, selama tidak ada anak perempuan dan
cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Saudara perempuan seayah, jika hanya
seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1 dan 2
4) Suami, jika tidak ada anak, dan tidak
ada cucu laki-laki dan anak laki-laki
b. Yang menerima seperempat (1/4)
1) Suami, jika tidak ada anak atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki
2) Istria tau beberapa orang istri, jika
tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Yang menerima seperdelapan (1/8)
1) Istri atau beberapa orang istri bila ada
anak atau cucu dari anak laki-laki
d. Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1) Dua orang anak perempuan atau lebih jika
mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari
anak lak-laki, selama tidak ada anak perempuan atau saudara laki-laki
3) Dua orang saudara perempuan sekandung
atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4) Dua orang saudara perempuan seayah atau
lebih, jika tidak ada yang tsb dari point 1,2, 3
e. Yang mendapat (1/3)
1) Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak
meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak pula meninggalkan dua orang
saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu seayah atau bukan.
2) Dua orang laki-laki atau lebih, juga
saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, jika tidak ada pokok dan cabang
(ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di maksud dengan “kalalah”.
Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih baik mereka lelaki atau
perempuan.
f. Yang menerima seperenam (1/6)
1) Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki, atau dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan
perempuan.
2) Ayah, jika tidak ada anak atau cucudari
anak laki-laki
3) Nenek perempuan jika tidak ada ibu
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika
bersama-sma dengan seoranganak perempuan sekandung.
5) Saudara perempuan seayah, jika
bersama-sama dengan seorang saudara perempuan sekandung ayah.
3. Ahli waris zul arham
Ahli
waris zul arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan
pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi
sebagai zaul furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok ashabahbila kerabat
yang menjadi ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka
zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan
perempuan.
Zul
arham terdapat 4 kelompok garis keturunan yaitu:
a. Garis keturunan lurus ke bawah yaitu:
1) Anak laki-laki atau perempuan dan
keturunannya.
2) Anak laki-laki atau perempuan dari cucu
perempuan dan keturunannya.
b. Anak keturunan lurus ke atas
1) Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas
2) Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke
atas
3) Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke
atas
c. Garis keturunan kesampig pertama, yaitu:
1) Anak perempuan dari saudara laki-laki
kandung atau seayah dan anaknya
2) Anak laki-laki atau perempuan dari
saudara seibu dan seterusnya ke bawah
d. Garis keturunan kesamping kedua yaitu:
1) Saudara perempuan ( kandung, seayah,
atau ibu) dari ayah dan anaknya.
2) Saudara laki-laki atau perempuan seibu
dari ayah dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara laki-laki atau perempuan (
kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan seterusnya ke bawah.[4]
Allah
SWT berfirman dalam surah al anfal ayat 75 yaitu:
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad
bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang
mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada
yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
4. Cara membagi Waris
Sebagaimana
di ketahui bahwa pembagian dalam harta warisan telah di tetapkan bagian
masing-masing ahli waris, yaitu ada ahli waris yang menerima bagian tertentu
yang berupa seberapa dari warisan, di sebut furudhul muqaddarah, dan ahli waris
menerima seluruh yang tersisa setelah di ambil oleh bagian ahli waris yang
termasuk alquran-furudhul muqaddarah disebut ashabah.
Ashal
masalah ialah angka yang menjadi dasar
pembagian harta warisan dalam sesuatu masalah yakni di bagi menjadi
berapa bagiankah keseluruhan harta pusaka itu, sehingga bagian masing-masing
ahli waris dapat di terimakan sebagaimana mestinya.
Cara
menentukan angka ashal masalah ialah dengan memperhatikan angka-angka pemecahan
yang terdapat pada bagian-bagian ahli waris dzauL furudh dalam suatu kasus,
yaitu dengan mencari kelipatan persekutuan terkecil dari pada angka-angka
pembagi atau angka-angka pemecahan yang
ada pada bagian-bagian ahli waris.
Dilihat
dari segi angka-angka pembagian masing-masing bagian ada, maka penentuan ashal
masalah ada 4 macam, sebagai berikut:
a. Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka
pembagi pada bagian-bagian yang ada pada suatu kasus itu saling memasuki,
artinya angka pembagi yang kecil dapat di masukkan kedalam angka pembagi yang
besar, dengan kata lain angka pembagi yang besar dapat habis dengan angka
pembagi yang kecil.
b. Mumatsalah, Yaitu apabila angka-angka
pembagian pada bagian-bagian yang ada dalam satu kasus itu sama besarnya, maka
cara menentukan ashal masalah ia dengan mengambil salah satu di antara
angka-angka pembagi yang ada.
c. Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka
pembagian pada bagian yang ada dalam suatu kasus itu berbeda yang satu dengan
lain, maka pembagian yang satu tidak habis di bagi dengan angka pembagi yang
lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama antara angka-angka pembagian yang
ada.
d. Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka
pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam suatu kasus berbeda antara yang satu
yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut mempunyai pembagian yang sama.
D.
Gugurnya Ahli Waris
1. Bagian Untuk nenek perempuan menjadi
gugur karena ada ibu, atau datuk laki-laki terhalang karena ada ayahnya.
2. Bagian saudara ibu menjadi gugur karena
ada salah seorang dari 4 Macam ahli waris:
a. Anak
b. Cucu dariAnak laki-laki
c. Ayah
d. Datuk laki-laki
3. Bagian saudara Laki-laki sekandung
menjadi gugur, karena ada salah seorang dari tiga ahli waris yaitu :
a. Anak Laki-laki
b. cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah
4. Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau
perempuan seayah ) manjadi gugur, karena adanya salah seorang tersebut di atas,
yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak laki-laki atau ayah.Dan jika
ada saudara laki-laki seayah seibu.
5. Empat orang yang dapat menjadi ‘Ashobah
kepada saudara-saudara perempuan mereka Yakni:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seAyah
E.
‘Aul
Dan Rad
1. Masalah ‘Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham
–saham para di pecah-pecah sejumlah angka asal masalah pasti tidak cukup untuk
memenuhi saham-saham dzawil furudh. Salah satu cara yang di lakukan untuk menyelesaikan
‘Aul adalah :
Setelah di ketahui bagian-bagian ashbul
furudh hendaknya di cari asal masalah, kemudian di cari saham-saham dari
masing-masing ashabul furudh itu di jumlah, maka asal masalah yang semula di
benarkan dengan menambahkan angka tertentu sehingga besarnya sama denganjumlah
saham-saham para ahli waris, dengan kata lain asal masalah yang baru di pakai
ialah jumlah saham-saham yang harus di terima oleh para ahli waris.
2. Masalah Rad
Menurut fuqaha ialah pengambilan apa
yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada merekasesuai dengan
besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk
menerimanya.
Rad tidak akan terjadi kecuali bila ada
tiga rukun:
a. Adanya pemilik Fard ( sahibul Fadh )
b. Adanya sisa peninggalan
c. Tidak adanya ahli waris ashabah
Untuk menyelesaikan secara tuntas
pembagian harta warisan terdapat sisa lebih dan di radkan, atau mengandung
masalah rad, terlebih dahulu haruslah di teliti apakah dalam kasus di maksud
terdapat ahli waris yang ditolak menerima rad ataukah tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul
furudh itu tidak terdapat seorang pun yang ditolak menerima tambahan dari sisa
lebih yang diradkan itu.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Harta
seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup bila
diantara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan, hubungan kewarisan menurut
islam ada dalam beberapa bentuk :
1. Hubungan kekerabatan atau nasab atau
disebut juga hubungan darah
2. Hubungan perkawinan
3. Hubungan pemerdekaan hamba
4. Hubungan sesama islam
Sumber
hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
1. Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176,
dan pada surah lainnya.
2. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud
bahwasanya Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Bagilah harta pustaka antara
ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
3. Ijma’ dan Ijtihad
Para ulama berperandalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu
mawarits adalah Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada
salah seorang di antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap
terpenuhi kewajiban itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka
mempelajarinya maka semua orang ikut berdosa.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, Fiqih, (
Medan : Cita Pustaka Media Perintis, 2011 )
Imran Ali,
Fikih, ( Medan : Cita Pustaka Media perintis, 2011 )
Drs. H. Moh.
Muhibbin, hukum kewarisan islam, sinar grafika, 2009, Jakarta.
Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, 2003,
Jakarta.
Dep. Agama, Ilmu
Fiqih, Jakarta, 1986.
[1] Imran Ali, Fikih, (
Medan : Cita Pustaka Media perintis, 2011 )
[2] Hafsah, Fiqih, ( Medan :
Cita Pustaka Media Perintis, 2011 )
[3] Drs. H. Moh. Muhibbin,
hukum kewarisan islam, sinar grafika, 2009, JAKARTA. Hal 76-79
[4] Prof. Dr. Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, 2003, Jakarta. Hal 162-169
[5] Dep. Agama, Ilmu Fiqih,
Jakarta, 1986. Hal 119-125
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق