BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak
terlepas dari beradaban (civilization) dan memakaikan agama (religion) sebagai
baju bangganya, HAR. Gibb (1859-1940) mengatakan, Islam is a complete
civilization (Islam adalah sebuah peradaban yang sempurna). Meskipun demikian, kenyataannya masyarakat
masih banyak yang belum mengerti betul apa itu peradaban dan Islam sebagai
agama yang sempurna belum masuk di hati bangsa ini.
Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu
al-Islama duna al-Muslimah, yaitu nilai-nilai Islam dapat ditemukan di
tengah-tengah non-Muslim, dan sebaliknya nilai-nilai non-Muslim banyak
ditemukan pada masyarakat Islam. Mengapa? Karena masyarakat Muslim sekarang
sudah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membuat Islam sendiri
runtuh dari nilai tauhidnya.
Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin
lama dikuasai oleh non-Muslim, alangkah baiknya, sebagai negara yang menghormati
peradaban dan sejarah. Khususnya Muslim ditekankan mengetahuai sejarah-sejarah
nenek moyang yang sudah mendahuluinya sebagai bahan renungan dan pembelajaran.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada empat rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?
2.
Siapa
sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3.
Bagaimana
masa kemajuan Bani Umayyah?
4.
Bagaimana
masa kemunduran Bani Umayyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
BERDIRINYA SEJARAH BANI UMAYYAH
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin
Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah
Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu
bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah
didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah sebagai pendiri
daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan
ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang
oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai
melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai
pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang
mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat
menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity). Diatas
segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang
menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan
pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang
penguasa Politikus, dan Administrator.
Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman
politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam
memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando
Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah,
dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu
sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang
membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira
20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah
menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang memimpin armada
besar dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan
hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali.
Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari
masyarakat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang
lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan
disiplin di garis depan dalam melawan peperangan melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah
berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan sumber-sumber
kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan.
Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah.
Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran
dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat
bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga
orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin
Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyyah merupakan empat
politikus yang sangat menggunakan di kalangan Muslim Arab. Akses mereka sangat
kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa
Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab
lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan
menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai
pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai
penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Sejak
wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan ditunjuk olehnya sebagai
penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi
Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus
independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya
manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan
yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar.
Keberhasilan Mughirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang
aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung
Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin
kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah untuk memangku jabatan
gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap politiknya
yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah
provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai
negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para
pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat
menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan,
meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah
setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun.
Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak
kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral,
sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif
melalui dasar keagamaan sejak Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak
oleh peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah Utsman dan perang saudara sesama
Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin
intergrasi kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas
menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembantaian putranya, Yazid,
beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia.
Ketika Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh
terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah
kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa
penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang
terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair
bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’
Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali dan menghasut
Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di Madinah. Pada
tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali memaksanya
setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak
seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala.
B. KHALIFAH-KHALIFAH
BANI UMAYYAH
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari
daulah Umayyah ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz. Masa
Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14
orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1) Muawiyyah
I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M)
Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti
Bani Umayyah dialah tokoh pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi
kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4
H, karena Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan
kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah,
tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di kufah. Diantara jasa-jasa
Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu
siap di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan mata uang),
dan lain-lain. Muawiyyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan
digantikan oleh anaknya Yazid.
2) Yazid
I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M)
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak
tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum
Syi’ah yang telah membaiat Husein sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di
karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain. Yazid menghadapi para pemberontak
di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena
lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar terhadap masanya.
Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh
anaknya, Muawiyyah II
3) Muawiyyah
II bin Yazid (64 H/683M)
Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan
jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa
berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat
besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyyah dalam
melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4) Marwan
I bin Hakam (64-65 H/683-684M)
Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan
penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah
itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena dianggap orang yang dapat
mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat menghadapi kesulitan
satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais, kemudian
menduduki mesir. Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat
pergi hanya memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya
Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara berurutan.
5) Khalifah
Abdul Malik (65-86H/684-705M)
Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan
para khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi
kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu
agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya
integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau
negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan sparatis
Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai
kepada aksi teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah
kufah, dan pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat
keguncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga
memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun beberapa gedung,
dan masjid serta slauran-saluran air, memajukan perdagangan, memperbaiki sistem
ukuran timbang, takaran dan keuangan dan menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an
dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah abdul Malik memerintah selam
21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh putranya Al-Walid
6) Al
Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa
pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran merintah ruah. Kekuasaan Islam
melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika afrika
utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia
sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang
dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang di jalan
tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di
Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni
para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta,
dan sakit kusta. Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan
oleh adiknya, Sulaiman.
7) Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99H/714-117M)
Dia tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka
harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan
perang (ghanimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh
rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah
belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para
pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin
Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan menunjuk Umar bin
Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8) Umar
bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M)
Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran
putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter
yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang
banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa dan
bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin
Bani Umayyah.
Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz,
gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber
lain. Rupanya keadilannya menurun dari Khalifah Umar bin Khatab yang menjadi
kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk mendalami
ilmu Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika ia menjadi khalifah ia
memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadis, dan inilah perintah resmi
pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai
wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga
mode Umar itu ditiru orang pada masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik,
khalifah Umayyah yang sekaligus sebagi pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur
Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya. Tetapi
ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal
pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi bangsawan
Arab yang mulia, ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik
al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi
seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir
hayatnya memerintah kurang lebih dua tahun.
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah
perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilkan
kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya
Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya
dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang
mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Di samping itu ia
mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan
peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah
Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan
keadilan dan bijaksana, serta memberi kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan
keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl : 90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala
tatanan yang ada di masa kekhalifahannya seperti menaikan gaji para
gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada fakir
miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang
non-Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi
beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah
Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik.
9) Yazid
II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan
antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat
proses kemunduran Bani Umayyah. Kemudian diganti oleh Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik.
10) Hisyam
bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)
Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur
sebagimana tersebut di atas. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20
Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena
kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan
tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil.
Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah
serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena
kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak
lemah lembut terhadap semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri
terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah. Masih
ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu
tujuh tahun, yakni :
11) Al-Walid
II bin Yazid (125-126H/742-743M)
12) Yazid
III bin Al-Walid (126H/743M)
13) Ibrahim
bin Al-Walid (126-127H/743-744M)
14) Marwan
bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan
julukan marwan al-himar (manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar biasa
dan kesanggupannya menahan perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang besar
tapi sayang, ia muncul ketika daulat Bani Umayyah sedang merosot. Dia wafat
pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah.
C. MASA
KEMAJUAN BANI UMAYYAH
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era
agresif, dimana perhatihan tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan
penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya
dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin
beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh
wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah
Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang
dinamakan Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan
Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di
zaman Umayyah mencakup front tiga penting, yaitu sebagai berikut:
1)
Pertama,
front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke
Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke pulau-pulau di laut tengah.
2)
Kedua,
front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam Arfika, pasukan Muslim juga
menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
3)
Ketiga,
front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini
dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang
sungai Jihun (Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin,
wilayah India bagian Barat.
Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini
ialah terjadi pada paruh pertama dari seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah,
yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun
terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar masa-masa tersebut,
usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai
kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan
besar dalam perluasan wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat
rintisan. Peristiwa paling mencolok ialah keberaniannya mengepung kota Konstantinopel melalui suatu
ekspedisi yang di pusatkan di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu
menduduki pulau pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan
sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di
belahan timur, Muawiyyah berhasil menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus
dan Afghanistan.
Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah,
lalu disempurkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak,
Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan
mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm, Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga
melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan Punjab sampai ke Multan, Islam
menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kumudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang
disebut-sebut sebagai masa kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas
kota Knstantinopel di zaman Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan
pukulan-pukulan yang cukup kuat. Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi
tetap saja belum berhasil, tetapi tindakan itu sedikit banyak berhasil
menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke depan, dengan menguasai
basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih
besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara sekitarnya. Setelah
segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah pimpinan
Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya,
Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti
Sevilla, Elvira dan Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan
penaklukan atas Tanah Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan
menyerang Carolingian Prancis.
D. MASA
KEMUNDURAN BANI UMAYYAH
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah
ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal
dan semakin kuatnya tekanan dri pihak luar. Menurut Dr. Badri Yatim, ada
beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya pada
kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1)
Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi
Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2)
Latar
belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai
konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para
pengikut Ali) dan Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa
pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3)
Pada
masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara
(Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum
Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti
Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping
itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa tidak puas karena status
Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa
Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4)
Lemahnya
pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar
golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama
sangat kurang.
5)
Penyebab
langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi
satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul
dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar
dan membunuh setiap orang dari Dinasti Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin
Abdul Aziz yang berangsur-angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi
oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani
Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin
Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masa kekhalifahan Bani Umayyah yang hanya berumur 89
tahun yaitun di mulai pada masa Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak mengalami
kemajuan perkembangan yang cukup pesat. Pada masa Muawiyyah bi Abu Sofyan
perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib di lanjutkan kembali. Ekspansi ke Barat secara besar-besaran di
lanjutkan di zama Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Al Walid adalah
masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga
banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah bin Abu Sofyan
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
yang lengkap dengan peralatanya di sepanjang dalam. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjatan dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus
seorang hakim atau qodhi mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Qodhi
adalah seorang spesialis di bidangnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasymy, A., Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
Hitti, Philip K., Dunia Arab, terj. Ushuluddin
Hutagalung dan O.D.P Sihombing,
Bandung: Sumur Bandung, tth
Suryanegara,Ahmad Mansur , Api Sejarah, Bandung:
Salamadani, 2012.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Beragai
Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1978.
Osman, A.Latif, Ringkasan Sejarah,Jakarta: Widjaya,
1951.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta:
Prenada Media, 2010.
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan
Eropa, Bandung : Pustaka Setia ,
2013.
Souyb, Jousouf, Sejarah Umayyah,Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق